Tuesday, May 27, 2008

REFORMASI PRODUKSI UNDANG-UNDANG

Satjipto Rahardjo

Cukup menarik Tajuk Kompas (16 Mei 200 8) berjudul ”Produksi Undang-undang” karena membuka peluang bagi suatu diskusi tentang kedudukan dan peran undang- undang. Disajikanlah statistik berapa jumlah undang- undang yang telah dibuat sesudah reformasi dan di masa pemerintahan siapa.

Sejak awal Indonesia adalah sebuah negara hukum, maka hukum memang penting. Tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana kita membaca dan memaknai negara hukum tersebut. Nazi Jerman juga sebuah negara hukum, tetapi membantai jutaan orang Yahudi dengan sengaja dan sistematis. Ternyata tipe negara hukum itu dapat bermacam-macam, demokratis, otoriter, bahkan ”monster”.

Pelajaran sejarah tersebut sungguh-sungguh berharga untuk mencerahkan dan mendewasakan kehidupan umat manusia dalam bernegara hukum. Kita menjadi tahu bahwa hukum itu hanya bentuk atau wadah yang di dalamnya dapat diisi dengan seribu macam keinginan dan kepentingan. Bentuk itu tidak berubah dan tidak ada hubungannya dengan isi. Dunia pasca-holocaust yang dilakukan negara hukum Nazi Jerman tentunya menjadi lebih cerdas. Memang itulah yang kemudian terjadi, seperti pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan moral kemanusiaan yang baru.

Indonesia lahir sesudah pengalaman dunia yang diciptakan para penguasa negara hukum Nazi Jerman. Para arsitek UUD 1945 tentunya sangat kuat dibayangi oleh kengerian terhadap genosida yang dilakukan negara hukum Nazi Jerman. Dengan latar belakang itulah kita membaca pikiran Supomo dan kawan-kawan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum dan bukan negara kekuasaan semata.

Indonesia tidak boleh mengulangi sejarah dan jatuh menjadi sebuah negara yang menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. UUD RI menjawab dengan kata-kata ”kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pernyataan tersebut bersifat historis dan merupakan jawaban bangsa Indonesia terhadap pembantaian kemanusiaan di dunia yang waktu itu baru saja lewat. Kekuasaan memang penting, tetapi jangan dibiarkan menjadi liar. Hukum bertugas mengendalikan kekuasaan tersebut. Hukum tak dapat mengendalikan kekuasaan, kecuali negara hukum itu memiliki komitmen terhadap moral kemanusiaan.

Dapat dikatakan, negara hukum Indonesia adalah sebuah negara hukum dengan komitmen moral kemanusiaan. Menurut saya, ini masih lebih tinggi daripada sebutan negara hukum demokratis. Dengan komitmen seperti itu, sudah sepantasnyalah apabila Indonesia menawar negara hukum macam apa yang akan dibangun di negeri ini (lihat ”Suatu Versi Indonesia tentang Rule of Law”, Kompas, 8/11/1993).

Bukan kuantitas

Undang-undang itu memang penting, tetapi janganlah diukur dari jumlah yang diproduksi. Kuantifikasi perundang-undangan dapat menjerumuskan kita kepada kediktatoran kalimat undang-undang, padahal UUD 1945 sarat dengan pesan dan kandungan moral. Konstitusi Indonesia layak disebut sebagai ”konstitusi partisan” yang memihak kepada bagian bangsa Indonesia yang kurang beruntung. Kata-kata ”sebesar-besar kemakmuran rakyat” adalah sebuah deklarasi moral yang menyentakkan.

Sejak UUD 1945 menyusui (nurture) perundang-undangan Indonesia dengan penuh pesan moral kemanusiaan, maka kita belum bernegara hukum dengan benar apabila pesan-pesan tersebut belum diwujudkan dengan nyata di semua lembaga negara.

Di dalam dunia modern undang-undang kita perlukan karena kehidupan sudah menjadi sangat kompleks sehingga membutuhkan panduan yang jelas. Untuk itulah undang-undang diperlukan. Kendati demikian, memahami dan menerima undang-undang sebagai sesuatu yang final (finite scheme) adalah kesalahan besar. Cacat undang-undang adalah sebuah kemungkinan besar yang dapat terjadi.

Oleh karena itu di muka dikatakan bahwa jangan sampai terjadi kediktatoran perundang-undangan. Saya setuju dengan kalimat dalam editorial Kompas yang mengatakan bahwa ”Hukum sejatinya diciptakan untuk kepentingan manusia”. Di dalam negara hukum Indonesia, memang seyogianya paradigma itulah yang kita pegang, yaitu ”Hukum adalah untuk manusia”. Bukan sebaliknya.

Maka sungguh celakalah apabila reformasi itu dimaknai sebagai ”reformasi produksi undang-undang” karena bangsa Indonesia tidak akan meningkat kebahagiaannya dengan cara bernegara hukum seperti itu.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emiritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro

Kompas, Senin, 26 Mei 2008

Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/05/26/00384676/reformasi.produksi.undang-undang

Read More......