Anjar Nugroho
“Man was born free, and everywhere he is in chains… How did this change come to pass?
I do not know. What can make it legitimate? I believe I can resolve this question”
(J.J. Rousseau)
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia banyak memiliki konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Maka tidak mudah membuat suatu definisi yang jelas mengenai demokrasi. Demokrasi juga merupakan konsep evolutif dan dinamis, bukan konsep yang statis. Artinya, konsep demokrasi selalu mengalami perubahan, baik bentuk-bentuk formalnya maupun substansinya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio historis di mana konsep demokrasi lahir dan berkembang.
Sejak runtuhnya dominasi pemikiran politik lama dan tradisi agama (yakni saat bergulirnya gerakan renaisance dan reformasi), diskursus pemikiran politik lebih memberi porsi kepada keterlibatan atau partisipasi warga negara (citizen) dalam pemerintahan. Para filosof politik tertarik untuk membincang bagaimana demokrasi mempunyai kekuatan untuk menjadi pusat mekanisme dalam membangun dan memberdayakan masyarakat.1) Gerakan dan pemikiran mereka telah memberikan blue-print perkembangan gagasan-gagasan demokrasi dengan perjuangannya menentang kekuasaan sewenang-wenang, desakralisasi gereja, memperjuangkan kebebasan berfikir dan memelopori gagasan pembentukan negara bangsa (nation-state).2)
Dalam tulisan ini akan dikaji pemikiran demokrasi Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), Marry Wollstonecraft (1759-1797) dan John Stuart Mill (1806-1873). Ketiganya mempunyai konsep demokrasi yang berbeda walau sama-sama berangkat dari tradisi individualisme liberal. Rousseau memulai gagasannya berangkat dari isu-isu utama yang signifikan pada teori demokrasi. Cara kerja Rousseau yang demikian itu telah memberi inspirasi pada beberapa pemikir lainnya, salah satunya adalah Mary Wollstonecraft. Dia adalah pioneer dalam mengamati fenomena interkoneksi natural antara wilayah publik dan privat.. Di tengah ranah perbedaan yang sangat kontras gagasan radikalisme demokrasi antara Rousseau dan Wollstonecraft, John Stuart Mill, bagaimanapun, telah memberi gagasan tentang developmental democracy yang lebih liberal. Konsep Mill tentang demokrasi tidak berhenti pada demokrasi protektif sebagai akhir seluruh agenda kerja, sebagai contoh, demokrasi Athena, yang menurut Mill bukan sama sekali contoh model baru demokrasi. Tetapi pemikiran dia mempresentasikan sebuah kelangsungan yang penting tradisi liberal, sebuah eksplorasi ide yang berhubungan langsung terhadap demokrasi protektif tetapi juga melenggang melewatinya dalam beberapa bagian.3)
Demokrasi Langsung ala Rousseau
Rousseau dapat dikatakan sebagai Machiavelli abad 18. Perbandingan ini berguna untuk melihat posisi keduanya yang berada dalam aras gagasan yang searah, yaitu bagaimana mereka telah mencoba mereartikulasikan teori-teori politik klasik. Rousseau mengarahkan preferensi sistem politik yang dia gagas sebagai republicanism, yang memfokuskan pada sentralitas kewajiban pada wilayah publik.4)
Dalam karya klasik Rousseau, The Sosial Contract, dia berasumsi bahwa walaupun manusia bahagia dalam sebuah komunitas asli dan alami, mereka menggunakan kontrak sosial untuk menghadapi segala rintangan yang datang kepada mereka. Manusia selalu ingin mewujudkan pembangunan alamiah mereka, merealisasikan kapasitas berfikir, mengekspresikan kebebasan secara maksimal, dan itu semua dapat dicapai melalui kontrak social dengan sisstem hukum yang mapan.5) Rousseau menyatakan bahwa semua manusia memiliki hak absolut untuk bebas. Argumennya adalah bahwa apa yang membedakan manusia dari binatang bukanlah karena manusia memiliki akal, tetapi fakta bahwa manusia dapat melakukan pilihan moral, dan karena itu, manusia harus bebas agar dapat menjalankan pilihannya.6) Jika rakyat tidak bebas, atau jika kebebasannya diingkari, maka kemanusiaan mereka diingkari dan mereka diperlakukan setengah manusia, sebagai budak atau binatang.
Dalam kontrak sosial versi Hobbes dan Locke, kedaulatan ditransfer dari rakyat ke negara, walaupun untuk Locke penyerahan hak pemerintah adalah urusan yang kondisional. Rousseau jelas berbeda dengan keduanya, ia berpendapat bahwa kedaulatan tidak dapat direpresentasikan dengan dan oleh apapun. Rousseau menulis :
Sovereignity cannot be represented, for the same reason that it cannot be alienated … the people’s deputies are not, and could not be, its representatives; there are merely agent; the cannot decide anything finally. Any law which the people has not ratified in person is void; it is law in all. The English people believes itself to be free; it is gravely mistake; it is free only during the election of members of parliament; as soon as the members are elected, the people is enslaved.7)
(Kedaulatan tidak dapat direpresentasikan, untuk pikiran yang sama tidak dapat dialienasikan … para wakil rakyat tidak, dan tidak akan dapat, menjadi representasi rakyat, mereka hanya sekedar agen saja, dan mereka tidak dapat menentukan keputusan apapun secara final. Beberapa hukum yang diratifikasi tidak oleh rakyat secara langsung adalah sebuah kehampaan. Rakyat Inggris percaya mereka akan menjadi bebas; akan mengubur kesalahan : akan bebas hanya selama pemilihan anggota parlemen; segera setelah anggota-anggota terpilih, maka rakyat akan menjadi budak.)
Rousseau kemudian menegaskan bahwa jika rakyat harus hidup menurut undang-undang yang tidak mereka buat sendiri, mereka tidak akan bebas, mereka akan menjadi budak. Keadaan akan sedikit berubah jika badan pembuat undang-undang dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi karena masih orang lain yang membuat undang-undang tersebut, mereka yang tunduk pada badan ini masih diingkari kebebasannya, diingkari hak alamiahnya sebagai manusia.
Masalah yang dikemukakan Rousseau adalah : bagaimana rakyat dapat hidup dalam masyarakat namun tetap bebas? Menurut Rousseau, ini hanya dimungkinkan jika rakyat hidup dalam undang-undang yang mereka buat sendiri, bukan oleh orang lain atas ama mereka. Dan ini pada gilirannya hanya dimungkinkan jika seluruh warga negara berkumpul di suatu tempat dan secara spontan memilih undang-undang baru yang diusulkan. Menurutnya undang-undang baru ini merupakan ekspresi dari ‘kehendak umum’. Ia juga menegaskan bahwa kehendak umum selalu benar; bahwa ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ (vox populi vox dei). Bagaimanapun, terlepas dari teori ini, gagasan Rousseau tentang majelis warga, jelas tidak mungkin dipraktikkan di negara modern.
Rousseau adalah pemikir politik yang paling menjengkelkan. Ia adalah teoritikus demokrasi modern yang pertama, tetapi ia percaya pada bentuk demokrasi langsung yang tidak dapat direalisasikan. Ia tidak percaya pada partai atau kelompok penekan (pressure group). Ia percaya bahwa rakyat hanya terikat dengan undang-undang ynag disetujui suara bulat, meskipun rakyat tersebut tidak memberikan suara pada undang-undang tersebut (seolah-olah rakyat tidak berfikir egois). Rousseau menghendaki kekuasaan rakyat dan kesetaraan semua warga negara. Dengan pandangan seperti ini, beberapa penulis memandang Rousseau sebagai bapak intelektual totalitarianisme modern.9)
Membongkar Ruang “Publik” dan “Privat”
Refleksi atas signifikansi revolusi Perancis dan perbedaan yang radikal antara Inggris dan negara-negara lain di Eropa, Marry Wollstonecraft (1759-1797) telah menemukan banyak buah pikiran Rousseau yang patut dipuji. Terinspirasi oleh beberapa isu yang diguliskan Roesseau, Wollstonecraft menulis salah satu karya yang luar biasa di bidang teori social dan politik “Vindication of the Right of Women (1792)
Wollstonecraft menerima argumentasi bahwa kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) adalah dua hal yang saling memenangkan. Sebagaimana Rousseau, dia melihat bahwa siapa saja yang ‘mengharuskan untuk menimbang konsekwensi setiap yang dalam posisi terjauh, maka mereka terlempar’ maka tidak dapat menikmasti kebebasan ‘hati dan pikiran’. Seperti Rousseau, dia berargumen bahwa dari respek yang terlalu berlebihan untuk hak milik dan arus kepemilikan akan menimbukan banyak kejahatan dan sifat buruk di dunia ini. Secara singkat Wollstonecraft mengingatkan, sebagaimana Rousseau, bahwa kebebasan dapat dikreasikan dalam masyarakat jika warga negara (citizen) mendapat pencerahan pemahaman tentang dunia mereka, dan jika produk politik diatur oleh keputusan pikiran dan suara rakyat.
Namun berbeda dengan Rousseau, Wollstonecraft tidak dapat menerima jika kekuasaan kandas di pemikiran politik tradisional yang mensubordinatkan kepentingan perempuan dan anak-anak di bawah ‘individualisme’ warga negara yang ‘laki-laki’. Wollstonecraft mengkritik beberapa asumsi tentang kepentingan laki-laki, perempuan dan anak-anak, dan secara mendalam mengkritik gambaran Rousseau tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang mengingkari peran perempuan di ruang publik. Menurut Wollstonecraft, kegagalan untuk mengeksplorasi isu-isu tentang peran politik perempuan tidak hanya akan merusak kesetaraan hidup laki-laki dan perempuan, tetapi juga akan merusak rasio dan moralitas mereka yang alami. Menurut pandangannya, hubungan antara laki-laki dan perempuan dinisbatkan pada sebagian besar asumsi yang tidak benar (tentang pembedaan secara kodrati laki-laki dan perempuan) dan institusi yang tidak tepat (dari nikah kontrak sampai absennya perwakilan perempuan di dalam institusi negara).10)
Dalam demokrasi leberal, menurut Wollstonecraft, perempuan harus diposisikan yang setara dengan laki-laki, baik tentang hak dan kewajiban. Harus ada wakil-wakil perempuan dalam badan-badan negara, sehingga tidak sekedar ada nuansa keterwakilan (representativeness), tetapi agar aspirasi kaum perempuan dapat terakomodir secara efektif. Pandangan ini setidaknya telah membongkar konstruksi kultural dalam masyarakat yang selama ini menaruh perempuan dengan segala eksistensinya dalam ruang “privat” di mana ruang lain yang “publik” menjadi milik laki-laki taken for granted.
Menuju Demokrasi Perwakilan Liberal
Para filosof politik sampai pada tahap pemikiran yang kemudian menjadi tonggak teori liberal modern, yang terus-menrus merusaha membenarkan kekuasaan negara berdaulat, pada saat bersamaan, membenarkan batas-batas kekuasaan tersebut. Upaya ini merupakan langkah untuk menyeimbangkan antara kekuatan dan hak, kekuasan dan hukum, kewajiban dan hak. Di satu pihak, negara harus memegang monopoli kekuasaan memaksa untuk menjamin kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan masyarakat.11) Di pihak lain, jika kekuasan negara tersebut dibiarkan tanpa kontrol, maka yang terjadi adalah penghancuran kemerdekaan politik dan sosial warganya.
Menurut para pemikir politik – yang kemudian diidentikkan sebagai demokrat-demokrat liberal –, demokrasi perwakilan merupakan pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi problem keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasan. Kebebasan dalam hal penalaran, pemerintahan hukum dan kebebasan memilih hanya bisa ditegakkan secara layak dengan mengakui kesamaan politik semua orang dewasa. Kesamaan demikian akan menjamin, bukan hanya lingkungan sosial yang aman di mana rakyat bebas melakukan aktifitas-aktifitas dan kepentingan-kepentingan pribadi mereka, melainkan juga negara yang berada di bawah saksi mata wakil-wakil politik yang bertanggungjawab kepada orang-orang yang berhak memilih, akan melaksanakan apa yang terbaik bagi kepentingan umum atau kepentingan publik.12)
Dua pernyataan klasik mengenai posisi baru tersebut bisa ditemukan dalam filsafat James Madison dan karya seorang tokoh kunci liberalisme Inggris abad ke-19, Jeremy Bentham. Menurut Madison, ‘demokrasi murni’13) selalu tidak toleran, tidak adil dan tidak stabil. Sebaliknya pemerintahan perwakilan mengatasi ekses-ekses ‘demokrasi murni’ karena pemilihan yang teratur memaksa suatu klarifikasi terhadap persoalan-persoalan publik, dan kelompo kecil yang terpilih, yang bisa bertahan terhadap proses-proses politik, yang mampu melihat kepentingan negara mereka yang sesungguhnya.
Sejalan dengan itu, Bentham menyatakan bahwa demokrasi perwakilan “memiliki pengaruh dan tujuan yang khas … melindungi anggota-anggotanya dari penekanan dan penghinaan di tagan para fungsionaris yang mempergunakan praktek-praktek tersebut untuk mempertahankan dirinya”.14) Pemerintahan demokratis model ini akan menjamin perlindungan warganegaranya dari penggunaan kekuasan politik yang despotis, apakah itu oleh monarkhi, aristokrasi, ataupun kelompok-kelompok yang lain.
Bentham mengambangkan sebuah versi liberalisme yang berbeda dari versi liberalisme yang radikal dan demokratis. Ini berbeda dari versi-versi liberalisme sebelumnya yang menghapuskan ide tentang hak-hak alami (rights of nature), yang dianggap Bentham tidak hanya nonsense, tetapi ‘nonsense on stilts’.15) Hal senada juga diungkapkan oleh James Mill, teman yang sangat berpengaruh terhadap bentham.
Adalah John Stuart Mill, anak James Mill, yang memiliki pandangan berseberangan dengan tradisi utilitarianisme16). Menurutnya, utilitarianisme telah melupakan sisi spiritual, estetik, dan emosional dari manusia. Mill terpengaruh oleh gagasan Romantik tentang individualitas, yang melihat setiap orang sebagai suatu keseluruhan yang kompleks, yang masing-masing berharga dalam keunikan mereka.
Dalam memahami implikasi politis dari arti individualitas yang baru ini, Mill, melakukan pembedaan ynag sulit antara ‘tindakan menyangkut diri sendiri’ dan ‘tindakan menyangkut orang lain’. Mill menyatakan bahwa, satu-satunya tujuan di mana kekuasan dapat digunakan dengan benar oleh anggota komunitas beradab yang berlawanan dengan kehendak sendiri, adalah keinginan untuk mencegah mengganggu orang lain.17) Hanya ketika tindakan individu mempengaruhi orang lain, maka ada alasan bagi munculnya regulasi dari negara. Apabila tindakan individu adalah menyangkut diri sendiri, yaitu tidak mempengaruhi orang lain, maka negara tidak memiliki hak untuk campur tangan.1
Analisis de Tocqueville tentang demokrasi Amerika yang melihat kecenderungan Demokrasi Amerika yang telah mengangkat opini publik dan tekanan sosial dari kelompok penekan (pressure group) sebagai sumber otoritas, telah menakutkan Mill. Ini menimbulkan dilema dalam sikap Mill terhadap pemerintahan demokratis. Ia secara umum beranggapan bahwa kedatangan demokrasi adalah benar dan tidak terhindarkan, namun ia takut dengan apa yang ia sebut ‘tirani mayoritas’. Kaum liberal telah lama berjuang melawan tirani pendeta dan raja, tetapi mereka sama sekali tidak mengantisipasi masalah yang timbul setelah orang terbebas dari kedua tirani ini.19)
Akibatnya, J.S. Mill adalah seorang demokrat yang enggan. Ia percaya demokrasi perwakilan sebagai kekuatan pendidik (the power of educate), pada sisi lain ketakutan pada demokrasi (tirani mayoritas) telah mengarahkan dirinya pada semua jenis alat untuk mencegah pemerintah mengungkapkan kehendak langsung dari mayoritas. Maka ia menegaskan, bahwa meskipun setiap orang dewasa harus memberikan suara, namun mereka yang berpendidikan harus lebih banyak memberikan suara. Saat parlemen harus mewakili semua rakyat dan memiliki otoritas untuk memutuskan undang-undang, undang-undang itu harus disusun oleh komisi undang-undang yang terdiri atas kaum intelektual.20)
Akhirnya, bagaimanapun Mill sangat percaya terhadap individualisme, Mill adalah salah satu pemikir liberal pertama yang mendukung intervensi negara dalam wilayah pendidikan, tempat kerja industri, dan lain-lain. Dan ini menjadi inspirasi untuk mengembangkan liberalisme baru, yakni liberalisme sosial.
Bibliografi
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta : Gramedia, 2001
David Held, Democracy and The Global Order : From The Modern State to Cosmopolitan Governance, Cambridge : Polity Press, 1995
David Held, Models of Democracy, London : Polity Press, 1987
Ian Adam, Political Idology Today, Ali Noerzaman (pentrej.), Yogyakarta : Kalam, 2004
James Madison, “Reflecting on Representation”, dalam The Mind of The Founder : Sources of The Political Thought of James Madison, Indianapolis : Bobbs-Merrill, 1973
James P Sterba, Social and Political Philosophy, London, New York, Paris dll : Wadsworth Publishing Company, 1998
Jeremy Bentham, “Constitusional Code”, dalam The Works of Jeremy Bentham, Jeremy Bowring (ed.), Edinburg : W. Tait, 1943
John Stuart Mill, Utilitarianism, liberty, Representative Government, Dent
Leo Strauss, Joseph Cropshy (ed.), History of Political Philoshophy, Chicago and London : The University of Chicago Press, 1987
1) Lihat David Held, Model of Democracy, London : Plity Press, 1987, h. 72
2) Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan PemikiranNegara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta : Gramedia, 2001, h. 297-299
3) David Held, Model of Demokracy, h. 73
4) Ibid
5) Ibid. h. 74
6) Leo Strauss, Joseph Cropshy (ed.), History of Political Philoshophy, Chicago and London : The University of Chicago Press, 1987, h. 559-560
7) J.J. Rousseau, The Social Contract, h. 141. dinukil dari David Held, Model of Demokracy, h. 75
Ian Adam, Political Idologi Today, Ali Noerzaman (pentrej.), Yogyakarta : Kalam, 2004, h. 32
9) Di antara penulis tersebut yang paling utama adalah J.L. Talmon dalam The Origin of Totalitarian Democracy. Lihat Ian Adam, Political Ideologi Today, h. 32
10) David Held, Models of Democracy, h. 80-81
11) David Held, Democracy and The Global Order : From The Modern State to Cosmopolitan Governance, Cambridge : Polity Press, 1995, h. 10
12) Ibid., h. 11-12
13) Yang dia maksud adalah masyarakat yang terdiri sejumlah kecil warga negara, yang berkumpul dan mengatur pemerintahan sendiri. Lihat J. Madison, “Reflecting on Representation”, dalam The Mind of The Founder : Sources of The Political Thought of James Madison, Indianapolis : Bobbs-Merrill, 1973, h. 20. Dinukil dari David Held, Democracy and The Global Order… h. 11
14) Jeremy Bentham, “Constitusional Code”, dalam The Works of Jeremy Bentham, Jeremy Bowring (ed.), Edinburg : W. Tait, 1943, h. 47. Dinukil dari David Held, Democracy and The Global Order… h. 12
15) Ian Adams, Political Ideology Today, h. 42-43
16) Utilitarianisme adalah sebuh sistem yang didasarkan pada ide bahwa semua psikologi manusia dapat direduksi menjadi pengejaran kenikmatan dan penghindaran rasa sakit, yang menurut Bentham (sang pelopor), kemudian akan diikuti ide bahwa semua kebaikan pada dasarnya merupakan kenikmatan dan semua penderitaan adalah rasa sakit. Lihat Ian Adams, Political Ideology Today, h. 41
17) John Stuart Mill, Utilitarianism, liberty, Representative Government, Dent, 1910. Dinukil dari Ian Adams, Political Ideology Today, h. 49-50. Bandingkan dengan James P Sterba, Social and Political Philosophy, London, New York, Paris dll : Wadsworth Publishing Company, 1998, h. 324-329
18) James P Sterba, Social and Political Philosophy, h. 324-329
19) Ian Adams, Political Ideology Today, h. 50
20) Ibid. h. 51
Sumber: http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/demokrasi-ala-jj-rousseau-wollstonecraft-dan-js-mill/
Sunday, January 18, 2009
ARTIKULASI LIBERALISME INDIVIDUAL DALAM DEMOKRASI ALA JEAN-JACQUES ROUSSEAU, MARRY WOLLSTONECRAFT DAN JOHN STUART MILL
Friday, January 16, 2009
UU PERS LEX SPECIALIS DEMI DEMOKRASI
Ketika UU Pers masih dianggap sebagai bukan lex specialis? Lalu untuk apa para anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat membuat UU pers itu sendiri? Apakah UU pers hanya dibuat sebagai pajangan peraturan yang tidak memiliki kekuatan hukum atau sebagai sebuah produk UU yang tidak punya pengaruh buat kebebasan pers itu sendiri? Apakah Indonesia, termasuk Negara yang menganut faham demokrasi? Jika jawabannya ya, maka diskursus tentang UU Pers lex specialis, sesungguhnya sudah selesai. Persoalannya memang akan menjadi lain, jika kita tidak sepakat kalau Indonesia bukan Negara demokrasi. Atau ketika kita hanya pura-pura menyatakan Indonesia Negara demokrasi yang semu.Trias politika, dalam negara demokrasi menjamin adanya kebebasan pers. Bahkan dalam negara demokrasi modern, salah satu indikator tumbuhnya demokrasi dilihat dari sejauh mana negara menjaga kebebasan pers.Karenanya, ketika ada pihak-pihak yang mencoba mengekang kebebasan pers, sesungguhnya, ia telah berada pada satu sisi masa suram demokrasi.Pernyataan Irjen Polisi Sisno Adiwinoto selaku Kapolda Sulselbar, di berbagai kesempatan, yang akan memidanakan wartawan, tanpa mendahulukan UU Pers, di setiap sengketa pers, lalu kemudian dikampanyekan ke berbagai kalangan, bisa diasumsikan sebagai upaya melawan demokrasi.Sebagai pihak yang menghargai perbedaan pendapat, kami berharap, Irjen Polisi Sisno Adiwinoto, bisa memahami kegelisahan sebagian jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, termasuk untuk bisa memberikan penjelasanatas dasar apa Sisno mengkampanyekan Kriminalisasi Pers, dan atas dasar apa Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers juga menolak segala Kriminalisasi Pers Apakah Irjen Polisi Sisno Adiwinoto, bisa memposisikan diri sebagai pengayom masyarakat sebagaimana amanah UU Polri No 2 Tahun 2002, itu juga hak personalnya. Tapi, Irjen Polisi Sisno juga harus memahami kalau pernyataan-pernyataanya, yang mengkampanyekan kriminalisasi pers adalah hal yang tidak produktif. Malah terkesan, kontraproduktif.Sebagai orang yang faham akan filosofi Negara hukum dan demokrasi, semestinya aturan atau kaidah hukum yang digunakan diletakkan pada dimensi dan porsi yang semestinya. artinya kaidah hukum yang diberlakukan terhadap pers seharusnya tidak dilandasi pada faktor lain. Misalnya, asal bisa menjerat pers, dan sikap mau menang sendiri.Artinya, lex specialis tidaknya suatu undang-undang tidak harus dituliskan secara tegas dalam satu batang tubuh sebuah undang-undang, sebab dari sisi substansi sebuah undang-undang juga sangat mudah untuk menentukan undang-undang itu lex specialis atau bukan.UU Pers, secara substansi, filosofis, teoritis, yuridis dan sosiologis, memenuhi syarat-syarat itu. Fakta-fakta yang dapat menunjukkan UU Pers lex specialis termaktub pada sisi pengaturan materi UU Pers mulai dari ketentuan Menimbang, Mengingat, Batang Tubuh dan Penjelasan Umum. 1.Pokok Pikiran Pentingnya Kemerdekaannya Pers. Penjelasan umum UU Pers menjelaskan bahwa ada 6 pokok pikiran yang dirumuskan dalam UU Pers terutama pada Penjelasan Umumnya: Yaitu: Kemerdekaan Pers Unsur Penting dalam Negara Demokrasi; Kemerdekaaan Pers Menjamin Transparansi, Kemerdekaan Pers Mewujudkan HAM. Terutama Piagam PBB tentang HAM Pasal 19. Kemerdekaan Pers Mencegah KKN, selaku fungsi kontrol, dan Pers Harus Profesional dan Terbuka Dikontrol masyarakat. 2.Dasar Filosofis. Dari konsideran bagian menimbang UU Pers ditemukan adanya Dasar atau landasan filosofis atau ideologi yang menjadi motif lahirnya UU Pers yaitu: Pers Salah Satu Sarana Mengeluarkan Pikiran dan Pendapat; Pers Memajukan Kesejahteraan Umum; Pers Harus Bebas, Pers Menjaga Perdamaian Dunia3.UU Pers Mengatur Secara Khusus dan TuntasDari batang tubuh UU Pers disebutkan bahwa pengaturan tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik sampai dengan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan secara lengkap. Pasal I UU Pers menjelaskan UU Pers secara khusus hanya mengkhususkan pengaturan pada sisi Pelaksanaan Kegiatan Jurnalistik Sementara mekanisme tanggung jawab dan sanksi tegas diatur dalam Pasal 6 UU Pers, dalam hak jawab dan hak koreksi serta sanksi pidana. Pertanyaannya boleh kah permasalahan pemberitaan pers di bawa ke pengadilan, boleh tapi syaratnya tetap harus menggunakan UU Pers yang muaranya pada pemenuhan hak jawab dan koreksi. Lihat Putusan MA Soal Harian Garuda.Untuk lebih jelasnya, berikut ini ada enam pokok pikiran yang terkandung dalam UU pers, khususnya pada Penjelasan Umumnya, mengapa sampai UU Pers Lex Specialis demi Demokrasi:Pertama: Penjelasan Umum UU No 40/1999 menandaskan bahwa pasal 28 UUD 1945 secara tegas menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.Oleh karena itu, pers yang meliputi media cetak, media elektronik, dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers BERFUNGSI SECARA MAKSIMAL sebagaimana diamanatkan pasal 28 UU D 1945, perlu dibentuk UU tentang Pers, (salah satu penegasan lex specialis). UU pers telah dibuat DPR-RI dan disahkan tanggal 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie. UU ini sendiri telah menjadi lembaran Negara tahun 1999 Nomor 166.Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.Kedua:Batang tubuh UU Pers ditemukan pengaturan secara lengkap tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik sampai dengan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberiataan pers. Pasal I UU pers difokuskan pada pelaksanaan kegiatan jurnalistik dengan rumusan sebagai berikut: “pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”Ini berarti UU Pers secara khusus hanya mengkhususkan pengaturan pada sisi pelaksanaan kegiatan jurnalistik.Ketiga:UU Pers mengatur cukup ringkas, tetapi tegas, Asas, Hak, Kewajiban, Fungsi Peran Pers dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik Sebagaimana Pasal 2,3,4,5 dan 6 UU Pers No 40 Tahun 1999.Keempat:Penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers bermuara pada pemenuhan hak jawab dan atau hak koreksi sebagaimana dirumuskan dalam Penjelasan Umum UU Pers.Hak jawab : adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitahuan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.Hak Koreksi: adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.Artinya, setiap ada sengketa pers, yang merasa dirugikan akibat karya jurnalistik, tentunya dapat menggunakan serangkaian hak-hak yang sudah diberikan oleh UU Pers.Lalu bagaimana jika ada pihak-pihak yang tidak menggunakan hak jawabnya, dan kemudian menggunakan jalur lain.Dalam kasus ini, kita perlu kembali melihat keputusan Mahkamah Agung tertanggal 28 april 1993, tentang perkara HARIAN GARUDA Medan, melawan PT Anugerah Medan. Dalam amar putusan Mahkamah Agung mengeluarkan putusan,sebagai berikut: apabila berita harian Garuda tersebut tidak benar, maka penggugat dapat menggunakan hak jawab. Namun ternyata hak itu tidak dipergunakan oleh penggugat tersebut dan ini dapat disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh tergugat dalam harian Garuda adalah mengandung kebenaran atau paling tidak mengandung nilai estimasi. Dengan adanya yurisprudensi MA ini, kedudukan hak jawab di mata hukum menjadi sangat penting dan diakui keberadaannya. Oleh sebab itu, jika ada persoalan sengketa pers, maka sudah seharusnya digunakan mekanisme hak jawab. Hal ini pun telah digunakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Bahkan, pada 25 Januari 2005 Presiden SBY di Istana Negara telah menyampaikan sebuah kebijakan kepada dewan pers, yang isinya sebagai berikut: “Penyelesaian masalah berita pers ditempuh dengan jalan pertama, dengan hak jawab; kedua bila masih dispute, diselesaikan ke Dewan Pers; ketiga bila masih dispute penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka, dan akuntabel,”Kelima: Bila pers tidak memberitakan peristiwa atau opini dengan tidak menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah dan tidak melayani hak jawab atau hak koreksi, dapat dipidana dengan ancaman pidana denda maksimal Rp.500 juta.Jadi adanya pendapat bahwa Pers terkesan kebal hukum dan tidak mau dijerat sanksi hukum juga tidak benar, sebab UU pers sesungguhnya mengenal pertanggungajawaban sanksi, yaitu jika:1.Pers tidak memberitakan peristiwa dan opini dengan menhormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (pasal 5 ayat 1)2.Pers Tidak melayani Hak Jawab (pasal 5 ayat 2)3.Pers Melanggar Pemuatan Iklan seperti ditegaskan Pasal 134.Pers Tidak berbadan hukum (pasal 9 ayat 2)5.Pers tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab ditambah nama dan alamat percetakan (pasal 12)UU pers telah mengakomodasi sanksi pidana sebagaimana ditegaskan dalam pasal 18 ayat 2 yang menyatakan “perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 ayat 2, serta pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp. 500 juta , dan pasal 18 ayat 3 juga menegaskan “perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 dipidana denda paling banyak Rp.100 juta.Sanksi ini sesungguhnya menjadi jawaban pula atas pertanyaan bagaimana hukum menjawab rasa keadilan masyarakat yang terkena dampak pemberitaan pers, jika telah melalui proses sengketa pers sebagaimana diatur UU Pers.Keenam:Pengaturan khusus bahwa UU Pers hanya mengatur pelaksanaan kegiatan jurnalistik dan penyelesaiannya terlihat dengan tegas dalam alinea terakhir Penjelasan Umum yang mengatakan : “untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan per undang-undangan lainnya,” ini berarti adalah, pengaturan khusus tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik dan mekanisme penyelesaiannya diatur dalam UU Pers, sedangkan pengaturan di luar pelaksanaan kegiatan jurnalistik misalnya, wartawan mencuri,memeras, dan merampok dan melanggar rambu-rambu lalu lintas diatur dalam KUHP.Kalau yang dimaksud kapolda adalah di luar konteks pemberitaan, misalnya, wartawan yang melakukan pemerasan, atau perbuatan kriminal lainnya, kami termasuk pihak yang memberi respon positif.sebab sebagai warga negara, jurnalis sebagai personal tidak imun hukum, apalagi yang menggunakan profesinya untuk mencari keuntungan pribadi. Pernyataan Sisno yang juga kerap melontarkan pemidanaan wartawan akibat pencemaran nama baik, juga sesungguhnya telah bertentangan dengan KHUP Pidana sendiri. Pada Pasal 50 menyebutkan, barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. Sementara dalam pasal 3 UU Pers menyatakan, salah satu fungsi pers nasional adalah melakukan kontrol sosial. Karena tugas jurnalistik yang dilakukan pers dianggap sebagai perintah UU Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana.Mengenai pencemaran nama baik. Pasal 310 KUHP menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukan pencemaran nama baik, jika dilakukan untuk kepentingan umum. Berdasarkan pasal 6 UU Pers, pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.Yurisprudensi Mahkamah AgungSelain alasan tersebut diatas, Perdebatan mengenai apakah UU Pers No 40/1999 lex specialis atau bukan sebenarnya sudah selesai, jika para hamba hukum di Negara Republik Indonesia ini, mau merujuk pada putusan Mahkamah Agung No 1608K/PID/2005 tanggal 9 Februari 2006, yang oleh ahli hukum dikategorikan sebagai yurisprudensi.Putusan Mahmah Agung tersebut berkaitan dengan kasus pidana Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Tempo, yang telah diadukan pengusaha Tomy Winata, karena dianggap telah menyebarkan berita bohong melalui tulisan di majalah Tempo yang berjudul “Ada Tomy di Tenabang”.Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menegaskan bahwa: Secara filosofi, berdasarkan pasal 3,4, dan 6 UU No 40 tahun 1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar keempat dalam Negara demokrasi meskipun UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kebebasan pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU tersebut dan diberlakukan ketentuan KUHP, maka agar perlindungan hukum terhadap insan pers bukan merupakan impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu mengakomodasi dan menempatkan UU Pers sebagai LEX SPECIALIS.Bahwa kebebasan pers sebagai suatu cara mewujudkan kebebasan berpendapat dalam bentuk tulisan , gambar atau tanda lain merupakan CONDITIO SINE QUANON (syarat yang tidak boleh tidak harus ada) bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasarkan atas hukum sebagaimana dalam Pasal 28 E UUD 1945, yang menyebutkan ayat (2): “setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dan ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat,”.Dalam rangka pelaksanaan fungsi pers, keseimbangan itu secara universal ditempuh melalui instrument-instrumen hak jawab, penyelesaian melalui lembaga pers, bahkan kalaupun melalui proses hukum harus lebih diarahkan pada tuntutan ganti kerugian bukan penghukuman fisik.Bahwa UU No 40 tahun 1999 tentang pers telah memuat tata cara yang harus ditempuh apabila didapati pemberitaan pers yang tidak menyenangkan, tidak benar atau merugikan kepentingan seseorang atau sejumlah orang.Persoalannya adalah bagaimana hubungan antara ketentuan UU Pers dengan ketentuan hukum lain seperti ketentuan-ketentuan dalam KUHP Pidana, ketentuan manakah yang PRIMAAT atau PREVAIL. Dalam hal ini akan terjawab dengan menentukan kedudukan pers dalam tatanan masyarajat yang berlaku.Oleh karena pers merupakan CONDITIO SINE QUANON dalam Negara demokrasi dan Negara berdasarkan atas hukum,maka tindakan terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan Negara berdasarkan hukum melainkan sebagai upaya memperkokoh sendi-sendi tersebut.Dari sudut pandang apapun, penghukuman terhadap pers dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas melainkan justru membahayakan pers bebas.Karena ketentuan-ketentuan UU Pers telah dibuat dalam rangka menjaga dan menguatkan pers bebas sebagai sendi demokrasi dan Negara beradasarkan hukum, maka tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan (Primaat/ Prevail) daripada ketentuan-ketentuan hukum lain, apalagi ketentuan pemidanaan.Bahwa pertanyataan selanjutnya adalah “apakah ketentuan dalam UU Pers menjamin keseimbangan (balancing) antara kepentingan pers bebas dan kepentingan pihak lain karena adanya berita yang keliru atau tidak benar?”Keseimbangan yang dituntut adalah memulihkan “cedera” seseorang akibat suatu pemberitaan pers yaitu kemungkinan terbentuknya pendapat umum yang merugikan yang bersangkutan. Karena menyangkut pendapat umum, maka pemulihan cedera harus bertujuan mengembalikan pendapat umum pada keadaan semula sebagaimana sebelum ada pemberitaan pers yang keliru. Dalam hal ini, Hak Jawab merupakan instrumen yang paling tepat dibandingkan dengan proses hukum yang selalu terdapat kemungkinan tidak dapat diketahui secara luas sebagaimana kalau menggunakan hak jawab, karena dengan menggunakan hak jawab akan ada keseimbangan antara kemestian pers bebas dan kemestian perlindungan kepentingan seseorang dari pemberitaan pers yang keliru.Demikian pula dengan Dewan Pers sebagai penjaga kode etik, sudah semestinya pemeriksaan etik lebih didahulukan daripada proses hukum. Meskipun didapati pelanggaran etik, tetapi etika pers tetap dalam rangka pers bebas di bandingkan dengan proses hukum/ proses peradilan.Jadi, atas dasar inilah, Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, melakukan perlawan opini kepada Irjen Polisi Sisno Adiwinoto, sebagai upaya untuk melindungi hak publik untuk mengetahui. Oleh sebab itu melalui kesempatan ini, kami memberikan opsi kepada Irjen Polisi Sisno Adiwinoto. Pernyatan Irjen Polisi Sisno Adiwinoto Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan & Barat, dalam berbagai kesempatan di Makassar yang menyatakan Masyarakat Tidak Perlu menggunakan hak jawab, dalam sengketa pers, dan bisa langsung mempidanakan wartawan , sebagai upaya Kriminalisasi Undang-Undang Pokok Pers No 40 Tahun 1999.Kriminalisasi Pers, dalam era kebebasan pers adalah sebuah pengingkaran atas pranata hukum pers yang telah diakui secara konsitusional dan HAM.Pernyataan Kapolda ini bahkan merupakan sebuah paradoks, bagi kebebasan memperoleh informasi, yang pada akhirnya membatasi kebebasan jurnalis, dalam melakukan aktifitas peliputan, untuk kepentingan publik. Kriminalisasi pers, pada hakekatnya adalah upaya pembatasan hak publik untuk memperoleh informasi yang bebas dari segala intimidasi, penyensoran, dan bahkan pembreidelan, sebagaimana diatur UU Pers No 40 tahun 1999 dan UUD 45 pasal 28 F dan pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.Oleh sebab itu, kami mengajukan tuntutan kepada Irjen Polisi Sisno Adiwinoto:1. Mengecam keras pernyataan Kapolda Irjen Polisi Sisno Adiwinoto dan meminta Irjen Pol. Sisno Adiwinoto untuk meminta maaf kepada publik, 2. Menghentikan kampanye untuk melakukan kriminalisasi Pers dan menggunakan mekanisme UU Pers setiap sengketa Pers.3. Menghentikan segala bentuk pernyataan yang bersifat mendiskreditkan peran jurnalis di Sulawesi Selatan.Jadi sebagai kesimpulan, kami tetap berpendapat bahwa UU pers Sudah Lex Specialis. Penyelesaian sengketa pers hendaknya menggunakan UU Pers. Sebab, dalam hukum universal ada adagium :LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI artinya Hukum Khusus membatalkan hukum umum. Jadi bagi kami, tidak ada alasan wartawan bisa dipidana sepanjang terkait profesi dan pemberitaannya, karena menggunakan mekanisme hak jawab dan mekanisme UU Pers dan Dewan Pers.Tapi meski demikian tentu, kami menghargai pendapat pihak yang tidak mengakui UU Pers Lex Sepcialis, hanya saja mengutip pernyataan Ketua Dewan Pers Prof DR Ichlasul Amal. Dewan Pers tentu tidak dapat mencegah masyarakat atau penegak hukum yang tidak mau menggunakan mekanisme yang disediakan UU Pers. Namun, sekalipun penggugat itu menang dalam proses hukum, tetap akan dicap sebagai orang yang tidak memiliki kemauan baik, sebab motif gugatannya bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk membunuh kebebasan pers dan demokrasi.******Rujukan Bacaan:1.KUHP DAN KUHAP Penerbit Rineka Cipta karangan DR Andi Hamzah, SH2.UU REPUBLIK INDONESIA No 2 Tahun 2002 Penerbit Visi Media3.UU REPUBLIK INDONESIA No 32 Tahun 20024.Peraturan Menkominfo Tahun 20075.UU REPUBLIK INDONESIA NO 40 Tahun 1999 Tentang Pers Penerbit Citra Umbara6.PENYELESAIAN SENGKETA PERS Penerbit Gramedia Pengarang Juniver Girsang.7.PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA Nomer 03 Tahun 2007 8.Dialog Pers dan Hukum Penerbit Unesco dan Dewan Pers9.TERMINOLOGI HUKUM INGGRIS-INDONESIA Penerbit Sinar Grafika karangan I.P.M Ranuhandoko BA10.DEWAN PERS GUNAKAN HAK JAWAB ANDA Penerbit Dewan Pers 200711.RAPOR WARTAWAN INDONESIA Penerbit Dewan Pers Editor Wina Armada Sukardi12.MENEGAKKAN KEMERDEKAAN PERS Penerbit Dewan Pers Penulis Leo Batubara(tulisan ini sebenarnya hendak disajikan dalam pertemuan Tripatrit antara Dewan Pers, Kapolda Sulselbar dan jajarannya dan Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar 18 juli 2008. Namun karena perubahan format acara, akhirnya,tulisan ini hanya disimpan sebagai file)
Selasa, 29 Juli 2008
http://deadline-asmaradhana.blogspot.com/2008/07/uu-pers-lex-specialis-demi-demokrasi.html