Friday, October 31, 2008

PERILAKU NAKAL REMAJA DALAM BENTUK PERKELAHIAN MASSAL PELAJAR ANTAR SEKOLAH

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304

Tulisan ini merupakan suatu paper, merupakan tugas mata kuliah Manajemen Masalah Sosial Perkotaan yang diberikan oleh Dr. Gumilar Rusliwa Soemantri

FAKTA DAN DATA

Di wilayah DKI Jakarta dalam beberapa tahun ini ditandai oleh munculnya peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah, khususnya diantara pelajar-pelajar-pelajar SLTA. Perkelahian pelajar secara individual barangkali tidaklah terlalu merisaukan masyarakat—terutama bagi aparat penegak hukum—apabila perkelahian tersebut tidak menyebabkan cederanya salah satu pihak yang bertikai.

Akan tetapi perkelahian secara massal, apalagi yang dilakukan oleh pelajar antar sekolah dan yang telah menimbulkan berbagai kerugian dalam bentuk kerusakan harta benda fasilitas umum seperti bus kota dan adanya korban yang cedera dan tewas, telah menimbulkan keprihatinan masyarakat, aparat penegak hukum maupun pranata-pranata pengendalian sosial lainnya seperti sekolah dan para orang tua.

Harian Kompas (2 Nopember 1992, 14 Februari 1996, dan 13 Mei 1996) melaporkan bahwa menurut catatan kepolisian, jumlah peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah di DKI Jakarta dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 1989 terjadi 80 peristiwa perkelahian massal pelajar dan pada tahun 1991 sudah menjadi sebanyak 260 peristiwa. Jumlah pelajar yang ditangkap karena terlibat dalam peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah pada tahun 1989 sebanyak 193 orang, dan pada tahun 1995 telah menjadi 1.245 orang. Demikian juga jumlah pelajar yang ditahan karena terlibat peristiwa tersebut terjadi peningkatan yang pada tahun 1989 hanya sebanyak 82 orang, pada tahun 1995 menjadi 1.236 orang. Meskipun data tersebut menunjukkan peningkatan frekuensi terjadinya perkelahian massal pelajar antar sekolah, namun jumlah pelajar yang diajukan ke pengadilan karena didakwa terlibat dalam peristiwa-peristiwa tersebut tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti, bahkan jumlahnya relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah pelajar yang ditangkap maupun ditahan, yaitu sekitar 50 orang saja.

Jumlah pelajar yang dilaporkan tewas akibat dari peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah terlihat adanya peningkatan. Pada tahun 1989 tercatat 6 orang tewas, pada tahun 1995 menjadi 13 orang. Jika hanya dilihat dari angka tersebut memang terjadi peningkatan, namun untuk melihatnya secara lebih proporsional harus dibandingkan dengan indikator lain. Pada tahun 1989 ketika tercatat 6 orang tewas, jumlah peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah sebanyak 80 peristiwa, atau dengan kata lain setiap 13, 33 peristiwa perkelahian massal menghasilkan satu korban jiwa. Pada tahun 1995 tercatat 194 peristiwa dengan 13 orang korban jiwa, atau setiap 14, 92 peristiwa mengakibatkan satu korban jiwa. Dengan membandingkan antara korban jiwa dengan banyaknya peristiwa perkelahian tersebut menghasilkan pemahaman baru bahwa sebetulnya tidak terjadi peningkatan proporsi korban jiwa bila dibandingkan dengan banyaknya peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah.

Pada tahun 1989 bus kota yang rusak sebagai akibat peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah tercatat sebanyak 116 kejadian, dan pada tahun 1994 menjadi 1.158 kejadian dan tahun berikutnya turun sebanyak 862 kejadian. Kerusakan bus-bus kota tersebut terjadi bukan karena akibat sasaran langsung dalam peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah, akan tetapi disebabkan bentuk perkelahian massal pada umumnya pihak-pihak yang bermusuhan saling melempari batu, dan salah satu pihak dalam perkelahian massal tersebut sedang berada dalam sebuah bus kota.

KERANGKA PIKIR

Gambaran umum peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah tersebut di atas, cenderung membawa kita untuk mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa perkelahian massal antar pelajar antar sekolah—dengan meminjam pandangan Durkheim, tidak dapat lagi dapat disebut sebagai gejala yang normal. Sebab, berbagai usaha pengendalian sosial yang dilakukan tidak menunjukkan hasil, bahkan intensitas peristiwa dan tingkat kerugian materi maupun korban jiwa semakin meningkat.

Apakah peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah sudah merupakan gejala sosial yang tidak normal? Yang tampak jelas adalah, pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang gejala perkelahian massal pelajar antar sekolah belumlah memadai. Sebab, dari peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah yang acapkali muncul tiap tahun dan sepanjang tahun, menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kondisi yang relatif menetap yang memungkinkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, dan bukan semata-mata adanya faktor kelainan atau kekurangan yang ada pada diri pelajar yang terlibat di dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Kondisi-kondisi tersebut adalah hal-hal yang berhubungan dengan pola hubungan yang tidak serasi antar pelajar sebagai anak dalam suatu keluarga dengan para orang tuanya, dan pola hubungan sosial yang tidak serasi antar pelajar dengan para guru dan sekolahnya.

Keterlibatan pelajar dalam perkelahian massal pelajar antar sekolah di kota-kota besar menurut Bradac dan Bower (dalam Kusumah, 1982) merupakan gejala yang sangat kompleks, merupakan proses sosial dan hasil dari suatu interaksi antara suatu bagian-bagian yang ada di masyarakat (multiple factors), berkaitan dengan berbagai variabel atau faktor, antara lain seperti : struktur sosial, perkembangan kota (infra dan supra struktur), pola sosialisasi keluarga, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan nasional, lembaga peer group (teman bermain), proses alienasi dengan lingkungannya, dll.

Perkelahian massal pelajar antar sekolah secara umum dikategorikan sebagai kenakalan remaja, merupakan fakta sosial (social fact) yang mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan karena sudah menjadi masalah sosial yang tidak bisa diabaikan. Bahkan sebagian ahli mengatakan bahwa kenakalan remaja merupakan suatu gejala sosial yang wajar, sebagai akibat dari adanya interrelasi antara berbagai gejala sosial yang ada di masyarakat. Karena merupakan gejala sosial yang menarik mendapatkan perhatian masyarakat, gejala ini pun mendapatkan perhatian pengelola media untuk menjadi komoditas berita atau program hiburan agar menjadi laku di pasaran (khalayak).

Kenakalan sebagai suatu realitas sosial memang merupakan gejala yang kompleks dan memiliki berbagai bentuk yang unik. Canavan (dalam Kusumah, 1982) menafsirkan kenakalan remaja sebagai perilaku yang dapat mengundang bertindaknya alat-alat penegak hukum, oleh karena perilaku tersebut mengganggu hak-hak orang lain termasuk dapat membahayakan remaja sendiri, orang-orang lain serta masyarakat umum.

Taraf dan bentuk kenakalan remaja di dalam suatu masyarakat tentu berbeda-beda, dan dengan begitu reaksi sosial terhadap berbagai bentuk kenakalan akan berbeda-beda pula. Kenakalan remaja yang melibatkan penggunaan kekerasan dan pada umumnya memperoleh reaksi sosial yang lebih keras dari masyarakat maupun dari alat penegak hukum.

Levy (dalam Kusumah, 1982) mengatakan bahwa terdapat tiga golongan kenakalan agresif, yaitu : Pertama, perilaku nakal merupakan akibat situasi lingkungan dimana tata kelakuan kelompok tidak memberikan perangsang bagi perilaku yang selaras dengan standar lingkungan sosial. Kedua, kenakalan berasal dari komunikasi orang tua yang tidak memuaskan, tanpa memandang status ekonomi keluarga tersebut. Dengan demikian, pembinaan terhadap kelompok anak nakal ini bukan berkaitan dengan jalan memanipulasi lingkungan sosial di luar keluarga, melainkan harus langsung terhadap orang tua mereka untuk menolong mereka memahami arti perilaku sosial bagi anak-anak. Dengan demikian orang tua dapat memahami bahwa akibat perilakunya dapat menjadi faktor pencetus bagi perilaku anak-anaknya yang tidak dikehendaki. Ketiga, kenakalan yang bersumber dari kondisi anak-anak itu sendiri. Anak-anak itu memang dianggap “sakit”, sehingga membutuhkan penanganan khusus atau mungkin diisolasi dari lingkungannya.

Jenkins (dalam Kusumah, 1982) menggolongkan kenakalan ke dalam dua bentuk pola-pola reaksi mereka, yaitu : Pertama, kenakalan adaptif, yaitu kenakalan yang perilakunya mempunyai tujuan (goal oriented behavior) tertentu. Kenakalan adaptif umumnya mempunyai tubuh yang lebih berotot, lebih berani, dan lebih bersifat memberontak terhadap otoritas orang dewasa dibandingkan dengan remaja yang taat pada hukum. Jenis kenakalan ini berasal dari rumah tangga yang “disorganized” dengan pengawasan orang tua yang kurang, disebabkan karena umumnya tinggal di suatu lingkungan ketetanggaan yang tinggi angka kenakalannya, maka setiap hari dihadapkan pada contoh-contoh perilaku nakal dan menambah kecenderungannya untuk mengadaptasikan diri pada perilaku tersebut. Kedua, kenakalan mal-adaptif, yaitu yang mempunyai sifat permusuhan, dendam, eksplosif, kejam, sombong, mementingkan diri sendiri, destruktif dan cabul, tidak belajar dari pengalaman serta mempunyai sedikit sekali perasaan bersalah.

Erikson (1981) mengaitkan perilaku nakal di kalangan remaja dengan karakteristik remaja itu sendiri, yaitu : (1) predisposisi di kalangan remaja yang cenderung memiliki kepribadian yang labil, kurang memiliki pandangan ke depan (foresight), mengalami kebingungan dalam melakukan pemilihan nilai moral karena mereka acapkali mengidentifikasi diri dengan kelompok bermain dibandingkan dengan keluarga; (2) kondisi sosial yang memantapkan kecenderungan nakal; (3) adanya peristiwa yang memicu kenakalan.

ANALISIS

Jika kita perhatikan dari fakta, data dan kerangka pikir mengenai perkelahian massal pelajar antar sekolah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang menyebabkan terjadinya perilaku nakal di kalangan remaja tersebut adalah ternyata tidak semata-mata berasal dari dalam (internal) remaja itu sendiri, tetapi bahkan yang paling dominan ternyata didapat dari faktor atau variabel yang didapat dari luar (eksternal) diri remaja yang mempengaruhi perilaku nakalnya tersebut. Jadi merupakan gejala yang sangat kompleks, merupakan proses sosial dan hasil dari suatu interaksi antara suatu bagian-bagian yang ada di masyarakat, berkaitan dengan berbagai variabel atau faktor (multiple factors), antara lain seperti : struktur sosial, perkembangan kota (infra dan supra struktur), pola sosialisasi keluarga, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan nasional, lembaga peer group (teman bermain), proses alienasi dengan lingkungannya, dll.

Sehingga dalam hal ini kita tidak dapat melakukan penilaian secara sepihak, bahwa keadaan yang tidak normal yang terdapat pada remaja tersebut semata-mata adalah karena pembawaannya, padahal penyebab terjadinya perilaku nakal remaja relatif banyak dan dapat dikategorikan sebagai berikut :

Pertama, perilaku nakal merupakan akibat situasi lingkungan dimana tata kelakuan kelompok tidak memberikan perangsang bagi perilaku yang selaras dengan standar lingkungan sosial. Misalnya, anak-anak yang berada dalam lingkungan wilayah miskin (slum areas) mendapatkan pengaruh kelompok geng nakal yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok anak nakal yang berada di wilayah elit.

Kedua, kenakalan berasal dari komunikasi orang tua yang tidak memuaskan, tanpa memandang status ekonomi keluarga tersebut. Dengan demikian, pembinaan terhadap kelompok anak nakal ini bukan berkaitan dengan jalan memanipulasi lingkungan sosial di luar keluarga, melainkan harus langsung terhadap orang tua mereka untuk menolong mereka memahami arti perilaku sosial bagi anak-anak. Dengan demikian orang tua dapat memahami bahwa akibat perilakunya dapat menjadi faktor pencetus bagi perilaku anak-anaknya yang tidak dikehendaki.

Ketiga, kenakalan yang bersumber dari kondisi anak-anak itu sendiri. Anak-anak itu memang dianggap “sakit”, sehingga membutuhkan penanganan khusus atau mungkin diisolasi dari lingkungannya.

Sehingga, dari peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah yang acapkali muncul tiap tahun dan sepanjang tahun, memerlukan suatu pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang gejala perkelahian massal pelajar antar sekolah. Oleh karena dalam perkelahian massal pelajar antar sekolah tersebut menunjukkan, bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kondisi yang relatif menetap yang memungkinkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, dan bukan semata-mata adanya faktor kelainan atau kekurangan yang ada pada diri pelajar yang terlibat di dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Kondisi-kondisi tersebut adalah hal-hal yang berhubungan dengan pola hubungan yang tidak serasi antar pelajar sebagai anak dalam suatu keluarga dengan para orang tuanya, dan pola hubungan sosial yang tidak serasi antar pelajar dengan para guru dan sekolahnya.

Sedangkan kenakalan yang merupakan karakteristik dari remaja itu sendiri, sesungguhnya merupakan posisi yang tidak dominan yang sebenarnya pula merupakan refleksi baik secara langsung atau pun tidak langsung berasal dari faktor-faktor dominan yang berada di luar dirinya. Karakteristik remaja yang bisa membawa pada perilaku nakal atau menyimpang antara lain karena beberapa alasan berikut ini :

Pertama, remaja masih dalam tahap pencarian identitas diri. Masa pencarian identitas diri merupakan masa krisis di saat remaja. Tentunya dalam mencari dan mencapai identitas diri, remaja merasakan kebingungan nilai-nilai mana yang harus dipilih. Dalam masa pencarian identitas diri ini, para remaja acap memilih nilai yang bertentangan dengan nilai sosial yang dominan. Dengan kata lain, para remaja lebih menentukan identitas dirinya dengan sub budaya nakal (sub culture delinquent) dalam kelompok bermainnya.

Selanjutnya, perilaku menyimpang (nakal) di kalangan remaja dapat muncul ketika mendapat rintangan. Selain itu, remaja juga selalu ingin tahu terhadap suatu hal yang baru, sehingga peran-peran sosial yang bersifat antagonis—yang melanggar norma—juga dilakukan oleh para remaja karena mereka ingin merasakan bagaimana peran sosial itu dilakukan, seperti mereka terlibat dalam kegiatan perkelahian massal pelajar antar sekolah, konsumsi dan peredaran obat bius, ekstasi, minuman keras, hubungan seksual di luar nikah, dan lain-lain. Namun, peran sosial ini pada akhirnya sulit dilepaskan karena mereka sudah mengalami kebiasaan, kecanduan, dan sulit melepaskan diri dari rasa solidaritas kepada teman.

Kedua, pencarian kelompok yang memiliki nasib, hobi, dan orientasi yang sama. Pemilihan kelompok ini bukan berarti suatu hal yang negatif, karena bagaimanapun orang sebagai mahluk sosial selalu ingin berkelompok dan berinteraksi. Namun, remaja yang ingin mencari teman yang memiliki nasib, hobi dan orientasi yang sama terjebak dalam kelompok teman bermain yang memiliki kecenderungan sub budaya menyimpang (deviant sub-culture) sebagai suatu bentuk pencarian kebutuhan materi dan moril—karena keluarganya tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kelompok bermain ini kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi dalam keluarga merasa terpenuhi.

SOLUSI

Solusi yang dapat diketengahkan disini adalah solusi—yang mem-fait accompli kita semua, yaitu yang menghadapkan kita pada suatu keharusan apabila kita menginginkan tereliminasinya secara signifikan persoalan perkelahian massal pelajar antar sekolah—seperti yang dikemukakan oleh Homan (dalam Kusumah, 1981), yaitu ditumbuhkembangkannya pola-pola hubungan sosial intrinsik dan ekstrinsik antara remaja yang berperilaku nakal dengan institusi atau pranata sosial dimana remaja tersebut berinteraksi sehari-hari—seperti keluarga, sekolah dan lingkungannya bermain, di tingkat lokal maupun nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pola hubungan sosial intrinsik yaitu hubungan sosial yang dilandasi oleh kasih sayang, cinta, atau karena saling memahami proses subyektif dari pihak-pihak yang berinteraksi serta pola hubungan ekstrinsik, yaitu proses interaksi yang bukan dipuaskan oleh karena kebutuhan kasih sayang.

Tentu yang pertama-tama harus dilakukan disini adalah, terjadinya implementasi hubungan sosial intrinsik dan ekstrinsik secara intensif dalam keluarga remaja yang terlibat dalam perilaku nakal perkelahian massal pelajar antar sekolah ini, dan harus dihindari hubungan sosial yang terbatas pada hanya hubungan ekstrinsik yaitu di luar proses interaksi yang terjadi misalnya hubungan antara orang tua dan anak hanya sebatas uang jajan, bukan proses interaksi yang dipuaskan karena kebutuhan kasih sayang.

Oleh karena itu, jika keluarga yang mampu melakukan kedua hubungan sosial, yaitu hubungan sosial ekstrinsik dan hubungan intrinsik, maka keluarga tersebut akan mampu berkesinambungan. Sebaliknya, jika keluarga hanya memberikan salah satu pemenuhan kebutuhan tersebut, terutama hanya menekankan pada hubungan ekstrinsik saja, maka keluarga tersebut akan mengalami kegoncangan (disintegrasi).

Sama halnya yang dapat dilakukan pada tataran institusi lain anak tersebut berinteraksi, yaitu diantara guru dan murid, antara remaja tersebut dengan teman bermain baik disekolah, dirumah atau dimanapun saja remaja rentan berperilaku nakal tersebut berinteraksi.

Hubungan sosial intrinsik dan ekstrinsik terutama harus ditumbuhkembangkan di lingkungan remaja tersebut bergaul, karena perasaan senasib membuat remaja merasa dekat satu sama lain dan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman sebaya. Dengan demikian, pengaruh kelompok bermain akan lebih banyak dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Jika diamati kehidupan sehari-hari para remaja, seringkali tindakan remaja yang mengarah kepada bentuk perilaku kekerasan karena untuk memenuhi tuntutan, keinginan, dan norma yang ada dalam kelompok. Hal itu dilakukan remaja karena dirinya ingin menyatu dengan kelompok, maka identitas pribadinya terpendam dan muncullan identitas kelompok (group identity).

Oleh karena perkelahian massal pelajar antar sekolah merupakan gejala yang sangat kompleks, merupakan proses sosial dan hasil dari suatu interaksi antara suatu bagian-bagian yang ada di masyarakat (multiple factors), berkaitan dengan berbagai variabel atau faktor, maka pemecahan masalah selanjutnya harus dilakukan secara komprehensif, tidak sepenggal-sepenggal dengan terlebih dahulu dicarikan akar permasalahan sebenarnya yang meliputi perkelahian massal pelajar antar sekolah ini, atau dengan kata lain kita harus mempunyai pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang gejala perkelahian massal pelajar antar sekolah tersebut, yaitu yang meliputi : struktur sosial, perkembangan kota (infra dan supra struktur), pola sosialisasi keluarga, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan nasional, lembaga peer group (teman bermain), proses alienasi dengan lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Armico, 1983

2. Dixon, Thomas Homer, Urban Growth and Violence: Will The Future Resemble The Past?, Occasional Paper,University Toronto, June 1995

3. Erikson, K.T., Notes on The Sociology of Deviance. Social Problems, 1981

4. Kusumah, Mulyana W., Analisa Kriminologi tentang Kejahatan Kekerasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982

5. Kartono, Kartini, Patologi 2, Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali Pers, 1992

6. Kompas, Harian, 8 Nopember 1993, 14 April 1993, 14 Pebruari 1996, 13 Mei 1996, 2 April 1997 dan 16 April 1997

7. Laboratorium Kriminologi UI dan Subbag Dastik Puskodalops Polda Metro Jaya, Data Kriminalitas Selektif (Crime Index), Tahun 1995 s.d. 1999

8. Yudhoyono, Susilo Bambang, Perkelahian Pelajar, Kepedulian dan tanggung jawab, Kompas, 1996

Salemba, 2001

Read More......

PARADOKS ALIENASI TERHADAP SOLIDARITAS SOSIAL

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304

Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Teori Sosial Klasik yang diberikan oleh Dr. Robert M.Z. Lawang

PENDAHULUAN

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa orang lain. Manusia selalu membutuhkan kehadiran sesama agar dia bisa bertahan hidup. Kenyataan ini melahirkan ikatan moral dan sosial berupa solidaritas di antara satu manusia dengan manusia lain. Solidaritas itu kemudian dilihat sebagai suatu perekat, lem, semen sekaligus fundamen yang mengikat dan menunjang kehidupan bersama manusia dalam masyarakat.

Solidaritas ini terungkap dalam bentuk kepedulian, komitmen dan tanggung-jawab akan hidup dan nasib orang lain sebagai sesama. Solidaritas inilah yang membuat manusia merasa satu dan senasib dengan sesama. Karena itu, ia terdorong secara moral untuk mengulurkan tangan membantu sesama. Demikian pula, ia merasa sedih dengan sesama yang sedang berduka dan merasa sakit dengan sesama yang tengah menderita.

Adam Smith merumuskan solidaritas ini sebagai simpati, yang tidak hanya berarti kita ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Lebih dari itu, berarti kita coba menempatkan diri secara imajinatif dalam posisi orang lain untuk memahami secara moral apa yang dialami orang lain. Dari sana kita terdorong untuk ikut membantu mengatasi masalah yang dia hadapi atau memahami mengapa ia melakukan tindakan tertentu.

Dalam arti ini, solidaritas sosial menjadi semacam keharusan moral bagi keberadaan suatu masyarakat atau ikatan sosial. Tanpa solidaritas tidak hanya masyarakat atau kelompok sosial tidak bisa bertahan. Lebih dari itu, individu tidak bisa berkembang secara penuh sebagai manusia.

Solidaritas tersebut akan sangat kuat dirasakan dan muncul secara spontan terutama dalam masyarakat komunal, yang di antara anggota masyarakat itu punya ikatan kekerabatan dan emosional sangat kuat. Setiap anggota komunal saling mengenal satu sama lain. Karena itu, sampai tingkat tertentu berkembang identifikasi sosial yang cukup intens dan emosional dalam lingkungan komunal tadi dengan mudah disalaharahkan untuk sekedar asal solider.

Ketika orang sekedar asal solider, asal ikut merasakan apa dirasakan oleh anggota lain, sekedar tidak mau menerima apa yang dialami oleh anggota yang lain, orang mudah terbawa emosi dan hanyut dalam tindakan-tindakan membabi buta.

Artinya, solidaritas itu sendiri adalah suatu nilai moral yang sangat luhur. Tetapi sebagai suatu nilai moral, hal itu punya batas-batas tertentu. Apalagi dalam kehidupan masyarakat yang lebih plural yang melibatkan ikatan-ikatan komunal dan kelompok sosial yang banyak. Batas itu adalah bahwa solidaritas tersebut benar dan dibenarkan hanya sejauh demi tujuan yang baik, demi mewujudkan nilai moral tertentu, demi memperjuangkan suatu kebenaran dan keadilan secara rasional.

Sehingga, ketika solidaritas cenderung mengarah kepada tindakan yang menghancurkan kehidupan orang perorangan, ikatan komunitas dan barang milik orang/komunitas, termasuk kelompok lain, solidaritas seperti itu tidak bisa lagi dibenarkan. Secara singkat, ketika perasaan solider menjurus kepada tindakan jahat yang bertentangan dengan moralitas dan nurani kita sebagai orang baik, kita perlu mengendalikan perasaan solider tersebut agar tidak salah arah. Kita perlu mengurungkan niat solidaritas kita tersebut.

Contoh paling jelas dari solidaritas yang salah arah adalah amok massa yang menjurus kepada tindakan brutal berupa pembakaran, pengrusakan dan pembunuhan dan lain-lain yang sejenis. Hanya karena solider dan simpati dengan perlakukan tidak adil, bahkan karena menjadi korban kesalahan sindiri, kita bisa serta merta menggalang kekuatan massa cukup besar untuk menyerang kelompok lain. Lebih susah lagi, solidaritas ini terjadi pada level yang sangat emosional tanpa pertimbangan rasional soal benar atau salah, adil dan tidak adil. Solidaritas model ini juga tidak peduli lagi dengan soal cara melakukan pembalasan.

Lebih repot lagi, kalau perlakuan yang tidak adil atau perkelahian antar anggota dari kelompok berbeda, telah dikait-kaitkan dengan eksistensi dan harga diri kelompok secara keseluruhan. Dalam situasi seperti itu, tanpa sadar solidaritas dianggap bernilai lebih tinggi daripada nyawa manusia, misalnya. Orang tidak peduli membunuh orang lain hanya karena perasaan solider yang salah arah tadi. Solidaritas seakan membenarkan kita untuk melakukan apa saja demi solidaritas dengan anggota kelompok. Bahkan membunuhpun seakan-sakan dihalalkan. Pembunuhan massal seperti di Ambon dan Sambas adalah contoh paling nyata dari solidaritas tanpa batas dan salah arah tadi.

Solidaritas yang salah arah ini akan jauh lebih sering terjadi di tengah masyarakat kita, karena kecenderungan kolektivitas dan ikatan kelompok primordial yang sangat kental dalam masyarakat kita. Kelompok sosial, khususnya primordial, lebih kita anggap sebagai identitas kita dan sebagai benteng perlindungan. Itu berarti, apa yang dialami oleh seorang anggota dialami pula oleh anggota lain. Semua anggota mempunyai kewajiban melindungi setiap anggota. Ada semacam pola utang budi pula, karena berkembang prinsip hari ini saya solider membantu membela dia, tidak peduli apakah ia salah atau benar. Karena besok, saya akan juga dibela kalau diserang oleh kelompok lain. Solidaritas kita adalah solidaritas primitif.

Perilaku main hakim sendiri adalah juga wujud lain lagi dari solidaritas kelompok yang salah arah tadi. Kita tidak menyelesaikan persoalan melalui jalur formal seperti pengadilan. Tetapi, kita menjadi hakim yang membalas perlakuan tertentu terhadap seorang anggota kelompok kita dengan ramai-ramai membalas perlakuan tersebut secara masal.

Bahwa kita perlu solider satu sama lain, tentu sangat baik. Tetapi, itu tidak berarti kita harus hanyut dalam solidaritas buta sampai ikut-ikutan emosi dan hanyut dalam tindakan brutal tertentu yang merusak ikatan sosial dengan sesama dari kelompok yang lain. Tidak berarti kira hanyut dalam tindakan membabi buta yang membahayakan sesama manusia, hanya karena solider dengan sesama anggota/ simpatisan partai politik.

Ikatan-ikatan sosial ditengah masyarakat kita sekarang ini sedang goyah dan sangat rentan. Karena itu, janganlah kita memperparah dengan solidaritas yang salah arah. Sebaliknya, kita pererat ikatan sosial itu dengan berpikir tenang, untuk tetap prihatin dan peduli dengan nasib sesama kita, termasuk sesama anggota/simpatisan partai lain, tetapi dalam arah yang benar, dengan tetap menghargai harkat dan martabat siapa saja sebagai manusia beserta hak-hak mereka, bukannya merusak harkat dan martabat serta hak-hak mereka. Karena, bagaimanapun kita tetap sesama manusia ciptaan Tuhan dan sesama anak bangsa yang berhak hidup rukun dan damai di negeri ini.

Dari uraian tersebut di atas tampak dalam masyarakat komunal solidaritas sosial akan sangat kuat dirasakan dan muncul secara spontan, yang di antara anggota masyarakat itu punya ikatan kekerabatan dan emosional sangat kuat. Setiap anggota komunal saling mengenal satu sama lain. Namun, sampai tingkat tertentu berkembang identifikasi sosial yang cukup intens dan emosional dalam lingkungan komunal tadi dengan mudah disalaharahkan atau cenderung teralienasi dari kelompok lain.

Hingga disini telah dapat dibuktikan suatu hipotesis bahwa semakin kuat kekerabatan suatu masyarakat, maka kecenderungan teralienasinya suatu kelompok terhadap kelompok yang lain semakin besar, sehingga dapat dikatakan bahwa gejala teralienasinya suatu kelompok merupakan paradoks dari suatu keadaan integrasi sosial.

Dalam kaitannya dengan ‘The Sacred’, solidaritas sosial bagi masyarakat tertentu dianggap sebagai sesuatu yang disucikan, ia dianggap sebagai sesuatu yang suci dan memberi perlindungan terhadap kelompok sosial tersebut. Solidaritas sosial menjadi fakta sosial pada masyarakat tersebut, ia menjadi suatu yang sudah terjadi yang bisa dilihat dan tidak terbantahkan oleh siapapun juga, sehingga mempunyai sifat memaksa, sifat umum dan eksternal (karena ia independen terhadap individu).

Salemba, 20 Oktober 1999

Read More......

KONSEP STRATIFIKASI MASYARAKAT

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304

Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Teori Sosial Klasik yang diberikan oleh Dr. Kamanto Sunarto

Dibawah ini akan dikemukakan terlebih dulu gambaran dua orang ahli sosiologi mengenai stratifikasi (kelas dan status), sebelum masuk kepada jawaban terhadap pertanyaan mengenai alasan-alasan yang melandasi pandangan saya mengenai konsep yang paling mampu menjelaskan stratifikasi dalam masyarakat kita yang sedang mengalami berbagai perubahan.
KARL MARX

Kita melihat bahwa perubahan sosial secara mendasar dan menyeluruh yang melanda masyarakat Eropa telah mewujudkan pembagian kerja semakin terinci dalam masyarakat. Pembagian kerja tersebut telah membawa diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horisontal tetapi juga secara vertikal.

Pandangan mengenai stratifikasi yang sangat menonjol dalam sosiologi ialah pandangan mengenai kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx. Menurut Marx kehancuran feodalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaitu kelas borjuis (bourgeoisie) yang memiliki alat produksi dan kelas proletar (proletariat) yang tidak memiliki alat produksi. Dengan makin berkembangnya industri para pemilik alat produksi, semakin banyak menerapkan pembagian kerja dan memakai mesin sebagai pengganti buruh sehingga persaingan mendapat pekerjaan di kalangan buruh semakin meningkat dan upah buruh makin menurun. Karena kaum proletar semakin dieksploitasi mereka mulai mempunyai kesadaran kelas (class consciousness) dan semakin bersatu melawan kaum borjuis. Marx meramalkan bahwa bahwa pada suatu saat buruh yang semakin bersatu dan melalui suatu perjuangan kelas (class struggle) akan berhasil merebut alat produksi dari kaum borjuis dan kemudian mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas (classless society) karena pemilikan pribadi atas alat produksi telah dihapuskan.

Jadi, konsep kelas sosial berdasarkan teori Karl Marx dikaitkan dengan pemilikan alat produksi dan terkait pula dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi.

Marx berpendapat bahwa stratifikasi timbul karena dalam masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise yang jumlahnya sangat terbatas sehingga sejumlah besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat dalam konflik untuk memilikinya. Anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan atau prestise berusaha memperolehnya, sedangkan anggota masyarakat yang memilikinya berusaha untuk mempertahankannya bahkan memperluasnya.

Menurut Marx, kelas-kelas akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam, yang memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi, sehingga merupakan pola hubungan memeras terhadap massa para pemroduksi.

Persamaan yang bagaimanakah yang dikehendaki masyarakat ? berdasarkan konsepsi Marx dikatakan bahwa asas pemerataan berarti pemerataan pendapatan, seseorang diharapkan menyumbangkan tenaganya pada masyarakat sesuai dengan kemampuannya tetapi akan memperoleh imbalan sesuai dengan kebutuhannya.
MAX WEBER

Pembahasan Max Weber mengenai kelas, status dan partai merupakan tiga dimensi tingkatan yang terpisah satu sama lainnya serta pada satu tingkat empiris tertentu, tiap dimensi itu bisa saling mempengaruhi.

Konsepsi kelas Weber bertolak dari analisisnya tentang liberalisasi kegiatan-kegiatan ekonomi berdasarkan ekonomi pasar. Yang dimaksudkan kegiatan ekonomi oleh Weber adalah upaya penguasaan kebutuhan utama manusia (berupa barang maupun jasa), yang didasarkan atas keadilan dan kompetisi secara sehat.

Kelas-kelas hanya bisa muncul apabila pasar itu telah ada, dan pada gilirannya dapat membentuk suatu ekonomi uang dan akan memainkan suatu peran yang penting dalam struktur ekonomi.

Weber membedakan kelas dan status (standische lage). Status seseorang, bertalian dengan penilaian yang dibuat orang lain kepada diri atau posisi sosialnya, sehingga menghubungkan dia dengan sesuatu bentuk martabat sosial atau penghargaan (positif dan negatif). Kelompok status adalah sejumlah orang yang mempunyai status yang sama. Kelompok-kelompok status (tidak seperti kelas-kelas) hampir sepenuhnya menyadari posisi bersama mereka.

Kasta merupakan contoh yang sangat jelas dari status, perbedaan sifat kelompok status dipegang teguh agar tetap berpedoman pada faktor-faktor kesukuan, serta biasanya pemberlakuannya dipaksakan melalui ketentuan-ketentuan agama dan/atau sanksi-sanksi hukum konvensional.

Keanggotaan kelompok kelas maupun keanggotaan kelompok status, dapat merupakan landasan bagi kekuasaan sosial; akan tetapi pembentukan partai-partai politik merupakan suatu pengaruh lanjut dan secara analisis bebas atas pembagian kekuasaan.

Suatu partai yang mempunyai kaitan dengan suatu yayasan amal sekalipun, dapat saja mempunyai tujuan agar dapat menerapkan kebijakan-kebijakan tertentu partai menyangkut yayasan tersebut. Artinya, partai-partai bisa masuk kedalam bentuk organisasi apa saja misalnya dimulai dari perkumpulan olahraga sampai ke organisasi pengacara tingkat nasional.

Landasan untuk mendirikan partai-partai sangat beraneka ragam, misalnya kesamaan kelas atau status bisa saja menjadi dasar satu-satunya bagi penerimaan anggota suatu partai politik.

TANGGAPAN :

Berdasarkan gambaran-gambaran yang telah dikemukakan oleh dua orang ilmuwan sosiologi tersebut di atas, maka saya berpendapat bahwa pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Max Weber adalah yang paling mampu menjelaskan stratifikasi dalam masyarakat kita yang sedang mengalami berbagai perubahan seperti berkembangya industrialisasi, urbanisasi, demokratisasi, modernisasi dan kapitalisme.

Alasan-alasan tersebut didasarkan atas hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa konsep Weber mengenai kelas dan status sangat relevan dengan konsep liberalisasi ekonomi yang memberikan keleluasaan kepada para pelaku pasar untuk berkompetisi secara sehat, dan pemerintah dalam hal ini hanya bertindak sebagai pengatur (steering) hal-hal yang pokok, dan kondisi ini sesuai dengan kecenderungan ekonomi dunia yang mengarah kepada perdagangan bebas;

2. Bahwa kekhawatiran Marx terhadap pembagian atau spesialisasi pekerjaan akan menyebabkan terjadinya kelas borjuis dan kelas proletar sangat tidak beralasan, oleh karena justru karena individu mempunyai pekerjaan atau kegiatan yang berbeda-beda dalam masyarakat, maka mereka menjadi tergantung atau terikat satu sama lain. Sehingga hipotesa yang menetapkan bahwa pembagian kerja adalah salah satu syarat hidupnya suatu masyarakat (menuju modern seperti Indonesia) dapat dibenarkan;

3. Weber menerima konsep Marx bahwa bentuk modern masyarakat merupakan suatu masyarakat kelas, namun ia mengungkapkan fakta bahwa perjuangan kelas sudah tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini (termasuk di Indonesia). Yang membedakan bentuk masyarakat modern dari jenis-jenis tradisional bukan lagi dari sifat kelas, tetapi dari pembagian profesi yang dilakukan secara kooperatif;

4. Terhadap pendapat Marx yang mengatakan bahwa seorang buruh jika belum mempunyai kesadaran kelas berarti kesadaran, pemikiran dan nalar yang meliputi benak si buruh tersebut merupakan kesadaran palsu (false consciousness). Padahal bukan suatu masalah apabila si buruh menyetujui tindakan atau kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh majikannya.

Salemba, 24 November 1999

Read More......

BANTUAN HUKUM: ARTI DAN PERANANNYA

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304

Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Hukum dan Pembangunan yang diberikan oleh Mulyana W. Kusumah

Bagi negara berkembang, konsepsi dan peranan dari suatu lembaga bantuan hukum hampir dapat dipastikan tidak sama dengan konsepsi dan peranan lembaga bantuan hukum di negara-negara maju, tempat lembaga ini lahir dan dibesarkan. Juga kadar campur tangan dari pemerintah terhadap eksistensi lembaga ini akan jelas sekali perbedaannya, suatu hal yang erat hubungannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan masyarakat setempat. Jika hal ini benar, maka timbul pertanyaan : sampai sejauh mana sistem kekuasaan di negara berkembang memungkinkan berkembangnya ide bantuan hukum ? Sampai dimana masyarakat setempat membutuhkan bantuan hukum ? Dalam tulisan ini, kami akan memulai pembahasan dari pertanyaan yang terakhir sepanjang menyangkut peranan bantuan hukum dan pada akhirnya menuju kepada pertanyaan pertama.

Persoalannya memang begitu kompleks, menyangkut banyak aspek. Tidak saja dalam proses peradilan, tetapi justru suatu proses pendidikan hukum (legal education): bagaimana menumbuhkan suatu kesadaran hukum (legal consciousness) agar masyarakat mengerti akah hak-hak dan kewajibannya dalam pergaulan hukum masyarakat. Proses pendidikan hukum ini bisa diartikan sebagai usaha untuk mengintroduksi nilai-nilai baru yang berguna tidak saja secara hukum, tetapi menyangkut banyak segi lain, lebih-lebih aspek ekonomis, terutama jika kita hubungkan dengan kenyataan-kenyataan sosial, bahwa kita memang bercita-cita menuju kearah pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pembagian pendapatan yang proporsional merata sesuai dengan sila keadilan sosial.

Jika dikatakan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai kenaikan Produk Nasional Bruto (GNP) dalam jangka pendek dan seterusnya menuju tercapainya keadilan sosial sebagai tujuan akhir, maka selama proses pembangunan tersebut berlangsung akan selalu terjadi akibat-akibat sampingan. Perencanaan kota misalnya, akan menimbulkan pergeseran-pergeseran hak milik atas tanah, yang tidak selalu dapat dihayati ditinjau dari segi keadilan maupun menurut pengertian “pembangunan” dalam arti luas. Efisiensi, efektifitas dan penghematan yang dilakukan sebagai usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, akan selalu dibarengi konflik-konflik, misalnya persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh rasionalisasi perusahaan, PHK atau pengrumahan para karyawan dan lain sebagainya. Tujuan mengejar hasil pendapatan yang setinggi-tingginya dengan pengeluaran yang serendah-rendahnya dari pihak perusahaan tertentu, dapat menimbulkan soal-soal lain dalam kaitannya dengan masalah-masalah hubungan kerja, upah buruh dan jaminan sosial, atas kerugian di pihak mereka yang terkena tindakan-tindakan sosial tersebut. Paling tidak, kasus-kasus di atas menimbulkan pertanyaan lain : apakah sebenarnya tujuan pembangunan ? Jika akibat-akibat sampingan dari pembangunan yang menimbulkan konflik dari ketegangan tersebut tidak mendapat salurah pemecahannya, maka cepat atau lambat akan timbul frustrasi, yang bila memuncak akan menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Dalam hal ini-palingtidak untuk sementara-tampaknya peranan lembaga bantuan hukum telah menampung salah satu usaha untuk menekan seminimal mungkin akibat-akibat sampingan dari usaha yang keras untuk menaikkan pendapatan nasional tadi. Dengan demikian, “keadilan” tidak hanya dapat dikecap oleh mereka yang kebetulan mempunyai uang dan kekuasaan-seperti yang selama ini dikesankan-tetapi juga mereka yang tidak mampu atau kebetulan tidak punya apa-apa selain sekelumit hak-hak yang adanya justru sering tidak pula disadari. Bukankah semua orang sama dihadapan hukum dan kekuasaan ? Kriteria utama bahwa hanya orang yang tidak mampu dalam arti materiil saja yang dapat memperoleh bantuan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sedikit banyak telah membantu, bahkan mendorong tegaknya prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) tersebut. Dengan demikian maka dalam usaha yang dilancarkan dewasa ini untuk mencapai kemakmuran, diharapkan agar segi keadilan juga mendapatkan tempatnya yang terhormat. Usaha mengejar kemakmuran sambil membelakangi keadilan, pasti akan makin memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Usaha lembaga bantuan hukum bisa dilihat sebagai usaha untuk mensejajarkan keadilan dan kemakmuran dan bergerak maju, berjalan bersama-sama menuju masyarakat adil dan makmur.

Walaupun tampaknya sukar untuk menarik kesimpulan usaha lembaga bantuan hukum telah berhasil menetralisasi akibat-akibat lain dari pembangunan itu, namun kasus-kasus yang ditangani LBH yang menyangkut perkara-perkara penggusuran di Jakarta dalam rangka perencanaan kota, rasionalisasi perusahaan atau pengrumahan terhadap sejumlah karyawan oleh perusahaan atau departemen tertentu sedikitnya bisa disebut sebagai contoh bantuan hukum dari segi lain itu.

Kehadiran lembaga bantuan hukum di negara sedang berkembang tidak saja diterima secara hukum tetapi dapat terjadi diakui pula secara politik, dimana peranan politiknya bisa amat menonjol terutama dalam menampung keluhan dan aspirasi dari arus bawah masyarakat. Dengan begitu ia suatu lembaga yang dekat dengan masyarakat luas lapisan bawah yang selama ini menimbulkan kesan tersisih, jauh dari tangan-tangan keadilan. Masalah-masalah hubungan kerja, upah yang memadai, jaminan sosial dan hak milik tidak semata-mata merupakan masalah ekonomi tetapi sudah merupakan keputusan-keputusan di bidang hukum.

Peranan lembaga bantuan hukum di Indonesia saat ini diperingan dengan adanya lembaga Ombudsman, yang merupakan lembaga resmi pemerintah yang menerima pengaduan-pengaduan mengenai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh badan atau pejabat-pejabat eksekutif pemerintahan. Jika pengaduan yang dimaksud benar, maka Ombudsman membuat rekomendasi untuk menyelesaikan pengaduan tersebut. Lembagai ini berasal dari Swedia, tercipta pada tahun 1809, kemudian berkembang di berbagai negara dalam berbagai bentuk dan variasi, dibawah sistem hukum yang berbeda-beda.

Dinegara-negara sedang berkembang, keterlibatan pemerintah yang terlalu jauh kedalam segala sektor kehidupan, acapkali menimbulkan ekses-ekses yang membawa kecemasan-kecemasan baru, sehingga apabila dihubungkan dengan struktur kekuasaan yang ada, maka pertanyaan “siapa yang memerintah siapa” atau “ siapa yang mengawasi siapa” menjadi amat relevan.

Dalam prakteknya, lembaga bantuan hukum tidak saja berurusan dengan soal-soal dimeja pengadilan, tetapi juga tidak dapat menghindarkan diri untuk menangani pula masalah-masalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dari badan atau pejabat-pejabat pemerintah sendiri, bahkan juga oleh yang lazim disebut sebagai “oknum” alat negara. Sebagai contoh, sering terjadi pejabat menggunakan jabatan resmi dari lembaganya, hanya untuk menyelesaikan soal-soal pribadi. Sebagian besar anggota masyarakat-terutama di masa rezim orde baru-jika ia diharuskan datang ke sebuah kantor alat negara-polisi atau militer-dengan surat panggilan resmi, apalagi tanpa menyebut dalam perkara apa dan untuk apa ia dipanggil. Pernah terjadi, panggilan semacam itu hanya untuk memaksakan suatu penyelesaian utang-piutang pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan badan resmi tersebut. Tidak jarang pula pejabat-pejabat melampaui wewenangnya dalam menjalankan tindakan-tindakan administratif.

Contoh lain adalah pemecatan-pemecatan yang dilakukan terhadap para pejabat tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan. Ombudsman, seharusnya bertugas menerima pengaduan dan membuat rekomendasi untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas. Hal lain yang menyebabkan berperannya lembaga bantuan hukum sebagai semacam Ombudsman, adalah karena kurang optimalnya peran hukum tata usaha negara. Bilamana hukum tata usaha negara sudah efektif dan pengadilan tata usaha negara telah memainkan peranannya, maka kasus-kasus yang menyangkut salah tindak administrasi yang terkadang amat besar pengaruhnya akan bisa diselesaikan. Untuk sementara lembaga bantuan hukum membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan memberikan advis dan nasihat, melakukan teguran-teguran kepada yang bersangkutan, mengajukan “appeal” kepada atasannya, atau membuka masalahnya kepada umum melalui bantuan media pers, dan jika upaya-upaya tersebut tidak berhasil, LBH mengajukan masalahnya ke depan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagimana perkara-perkara lainnya.

Tidak semua orang dalam kenyataannya memanfaatkan bantuan hukum di luar badan-badan peradilan. Ini banyak terjadi dalam kasus-kasus pembelian tanah, terutama di desa-desa, dengan dalih akan digunakan untuk proyek-proyek pembangunan atau mengatasnamakan pembangunan. Disamping tidak semua orang tahu bahwa bantuan hukum dapat diperoleh, adakalanya ia memang sadar tetapi tidak mempunyai cukup keberanian untuk mempergunakan haknya itu, antara lain karena tekanan-tekanan dari para pejabat setempat. Pejabat-pejabat tertentu seringkali pula tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa setiap orang boleh dan berhak mendapatkan bantuan dari penasihat-penasihat hukumnya. Dalam keadaan seperti ini, lembaga bantuan hukum sangat sukar untuk mengembangkan kesadaran masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat dalam pergaulan hukum, suatu hal yang menjurus pada masalah pendidikan hukum dalam arti luas.

Disinilah pentingnya lembaga bantuan hukum senantiasa bekerjasama secara erat dengan media massa, tidak saja untuk menanamkan dan menyebarluaskan kesadaran hukum dalam masyarakat, tetapi juga untuk menggugah, mengoreksi dan mengontrol praktek-praktek praktek-praktek atau perbuatan para pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum secara terbuka. Sebab bukanlah suatu hal yang kebetulan bahwa dewasa ini posisi pers-sekurang-kurangnya di Jakarta-secara politis cukup berpengaruh. Sebaliknya di daerah-daerah, selain sikap dan penguasanya relatif lebih otoriter sementara media massa daerah justru lebih lemah posisinya, maka lembaga bantuan hukum bukan saja tidak dapat berkembang bahkan tidak bisa didirikan.

Faktor sosial ekonomi dapat pula dikatakan sebagai hambatan berkembangnya gagasan ini. Pendapatan yang relatif kecil dari orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum seperti hakim, jaksa, polisi atau para pembela bisa menyebabkan peradilan berlangsung menjadi hanya sekedar formalitas belaka. Sinisme terhadap KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), dimanifestasikan dalam versi plesetan “Kasih Uang Habis Perkara”, ini masih melekat pada sebagian anggota masyarakat, disamping rahasia umum mengenai adanya “perkara-perkara kering” dan “perkara-perkara basah”.

Keadaan sosial-politik pada waktu dan tempat tertentu-terutama di masa rezim orde baru- dapat pula dikatakan menjadi penghambat utama. Dalam praktek, acapkali gagasan bantuan hukum dikorbankan demi “ketertiban”, “keamanan” dan “pembangunan”. Banyak orang takut untuk meminta bantuan hukum, ia akan mendapatkan cap maut “anti pembangunan”, apalagi jika cap itu berupa “sisa-sisa G30S/PKI”.

Jika kita boleh mengatakan bahwa ketetapan MPR di bidang hukum merupakan politik hukum negara kita, maka sebenarnya kita hanya tinggal menterjemahkan dan menerapkan saja kedalam kenyataan sehari-hari. Dengan demikian tugas penguasa dan masyarakat tidak hanya sekedar penerapan undang-undang atau pasal-pasal hukum, tetapi lebih dari itu, mencakup masalah hukum dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat luas.

Salemba, 1 Juni 2000

DIarsipkan di bawah: Hukum dan Implementasinya | yang berkaitan: bantuan hukum, legal consciousness, legal education, mulyana w. kusumah, ombudsman | Tidak ada komentar »
PENYALAHGUNAAN DISKRESI PADA KEBIJAKAN MOBIL NASIONAL
Ditulis pada 10 Agustus, 2008 oleh Zuryawan Isvandiar Zoebir

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304

Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Hukum dan Pembangunan yang diberikan oleh Dr. Harkristuti Harkrisnowo

A. Pendahuluan

Kajian mengenai topik ini dikategorikan kedalam lingkup hukum administrasi negara, yaitu salah satu bidang hukum yang mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi pemerintah sebagai administrator negara. Pemerintah adalah “pengurus harian” negara yang terdiri dari keseluruhan jabatan/pejabat publik yang mempunyai tugas dan wewenang politik negara serta pemerintahan.

Dalam artian yang luas, hukum administrasi negara adalah hukum mengenai penyelenggaraan segala sesuatu yang mengandung aspek policy pemerintah dan hukum publik.[1]

Apa yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparaturnya adalah tugas-tugas pemerintah, yaitu tugas-tugas negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada pemerintah. Sedangkan tugas-tugas lainnya dibebankan kepada MPR (badan konstitutif), presiden dan DPR (badan legislatif), DPR (badan pengawas politik), DPA (badan konsultasi) dan BPK (badan pengawas finansial).

Pembahasan akan kami fokuskan kepada aspek tugas-tugas pemerintah, oleh karena pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab terbanyak dan kompleks pada hampir semua bidang tugas-tugas serta diprediksikan memiliki tingkat penyalahgunaan diskresi (detournement de pouvoir) tertinggi bila dibandingkan tugas-tugas yang dibebankan kepada lembaga negara lainnya.

Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.[2]

Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadi pejabat publik tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap dijiwai diskresi tersebut.

B. Permasalahan dan Pembahasan

Dalam bagian ini kami akan mencoba untuk mengambil beberapa contoh penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara terutama dimasa-masa lalu serta akan diperbandingkan dengan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang pejabat publik dalam memanfaatkan asas diskresi ini.

Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya tetap dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut (jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu :

a) Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada para pengusaha;

b) Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut, reaksi pasar baik didalam negeri maupun diluar negeri sangat negatif tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakan yang menimbulkan heboh tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat kurang dan oleh karenanya sangat tidak layak untuk tetap dipertahankan;

c) Telah dilanggar prinsip-prinsip moralitas atau rasa keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan, dengan dalih apapun atau sebodoh apapun masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroninya.

Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu : [3]

1. Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;

2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;

3. Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas.

Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good governance)[4], maka dalam kasus Proyek Mobil Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau paling kurang tidak berupaya bagi pencapaian dan pemeliharaan suatu pemerintahan yang baik dan bersih, yaitu dengan ditegakkannya asas-asas :

1. Orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;

Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;

2. Asas Larangan Kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad);

3. Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya, oleh karena secara substansi kebijakan diskresi tersebut dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang dari yang apa-apa yang dimaksudkan oleh undang-undang yaitu memperkaya diri sendiri, keluarga dan kroninya;

4. Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan sebanding. Dalam penunjukan kepada PT. Timor Putra Nasional yang nota-bene merupakan milik anak dan kroni-kroninya sendiri, maka secara jelas ia telah melakukan tindakan pandang bulu, pilih kasih. Padahal Soeharto sangat mengetahui bahwa tindakan-tindakan seperti ini sangat terlarang, karena merusak tujuan dari hukum obyektif, sehingga pada akhirnya akan merongrong hukum dan wibawa negara dengan timbulnya suatu kesan bahwa negara adalah milik dari rakyat golongan tertentu saja.

C. Penutup

Demikian secara singkat kami uraikan makalah tentang penyalahgunaan diskresi pada kasus Proyek Mobil Nasional yang dihubungkan dengan asas-asas hukum yang harus dipenuhi bagi pembuatan suatu kebijakan dan asas-asas mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bilamana asas-asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan suatu pemerintahan tidak akan tercapai, dan keputusan-keputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai wibawa serta efek yang diharapkan.

Bogor, 3 Juni 2003

[1] Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 13

[2] Ibid, hal. 87

[3] Ibid, hal. 87

[4] Siagian, Sondang P., Patologi Birokrasi-Analisis, Identifikasi dan Terapinya, Ghalia Indonesia, hal. 1

Read More......

PROPOSAL PENELITIAN HUKUM

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya, Jakarta, NPM. 200201026230
Tulisan ini merupakan Proposal Penelitian Hukum

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

(Identifikasi Indikator-indikator Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

1. Identifikasi Masalah

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (daerah) merupakan salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh kasus, dari sekian banyak program pembangunan bidang hukum di Kabupaten Bogor yang menyangkut isu sentral: penyusunan produk-produk hukum daerah, sosialisasi produk-produk hukum daerah, serta penegakkan produk-produk hukum daerah ternyata implementasinya di lapangan dianggap gagal (Pakuan, 2002).

Sedikit sekali keberhasilan yang “dinikmati” warga masyarakat, kecuali hanya sebatas dalam bentuk fisik produk-produk hukum daerah belaka. Pembangunan hukum daerah dalam implementasinya ternyata telah dilakukan tanpa mengubah secara signifikan hal-hal substansial peningkatan derajat penghargaan masyarakat terhadap produk-produk hukum daerah, dalam hal ini peraturan-peraturan daerah. Terlihat sangat ironis, dan contoh kasus ini sekaligus menunjukkan sangat dominannya top-down policy pemerintah (daerah) dalam pembangunan di bidang hukum. Jika saja partisipasi masyarakat dioptimalkan keterlibatannya sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program, serta institusi pemerintah daerah terkait dilibatkan secara benar, maka hampir dapat dipastikan upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih baik serta mendekati sasaran yang diharapkan.

Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi program pembangunan (hukum) di tingkat daerah (local), terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesadaran (hukum) masyarakat (Clark,1995: 595; Friedmann, 1992: 161). Pembangunan hukum yang lebih berorientasi kepada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan peraturan daerah tertentu, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum. Pada gilirannya nanti, strategi ini mampu berperan secara nyata dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan daerah. Keyakinan itu perlu terus ditanamkan, terutama dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunan peraturan-peraturan daerah pada pemerintah kabupaten/kota.

Selanjutnya, hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di masyarakat, aparatur akan sangat banyak dituntut menggunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda.

Di masa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam perencanaan hingga pengimplementasian program pembangunan hukum didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaitu NGO hanya akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya (Friedmann,1992:161). Bagi aparatur pemerintah, NGO maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses pembelajaran (hukum) (Clark,1995: 595), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam implementasi peraturan-peraturan daerah, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena keadaan nyata (existing condition) yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah daerah, seperti peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang kerap kita baca pada media-massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses pembelajaran yang seyogyanya terjadi pada implementasi program pembangunan hukum daerah tidak pernah terjadi, bahkan yang terjadi adalah secara tidak sadar pemerintah telah melakukan hal-hal sebaliknya, yaitu upaya-upaya sistematis pembodohan masyarakat yang dilakukan melalui peraturan-peraturan daerah yang telah disusun bersama-sama dengan legislatif daerah.

Jika diperhatikan dengan seksama, prosedur penyusunan program pembangunan bidang hukum yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat. Proses tersebut dilakukan melalui tahapan-tahapan logik yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa/kelurahan, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mekanisme yang cukup baik tersebut tetap dinilai kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan masyarakat.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan utama tentu akan dialamatkan kepada tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh metode-metode partisipatif oleh aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program pembangunan hukum kepada masyarakat. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga ke tingkat akar rumput (grassroots) terhadap produk-produk hukum yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun upaya ini harus dilakukan setelah terlebih dulu melalui proses-proses yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

Lebih jauh, Korten (1988: 64) mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program pembangunan (dalam hal ini bidang hukum) antara lain yang dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses tersebut. Akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk, sehingga seperti yang sering kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada kurangnya intensitas partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.

Jika kita tidak mau belajar dan tidak mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin, maka setelah mencapai titik jenuh, pada saatnya keadaan ini berpotensi menjadi gerakan yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah), serta dianggap merupakan pemaksaan program-program pembangunan kepada masyarakat. Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak jika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi program pembangunan yang dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan proses pembelajaran.

Proses partisipasi masyarakat dalam rangkaian penyusunan program pembangunan hukum, secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah hanya bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi respon terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah, daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri atau berdalih demi menjaga kewibawaan pemerintah (daerah).

Dalam kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan tanggapan, mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, misalnya dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.

Pada hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Eldridge (1995:17) “participation means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less influential groups.” Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.

2. Permasalahan

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering hanya dipandang sebagai suatu pendekatan (approach) dan bukan sebagai tujuan (objective) (Rifkin,1988: 931-940). Sebagai pendekatan maka partisipasi masyarakat hanya dijadikan sarana untuk mencapai tujuan tertentu (as a means), sehingga studi-studi yang dilakukan acapkali berputar-putar disekitar bagaimana menumbuhkan dan melaksanakan partisipasi tersebut daripada studi mengenai bagaimana menganalisis partisipasi masyarakat itu sendiri, yaitu dengan cara melihat atau menelaah partisipasi masyarakat sebagai tujuannya sendiri (as an end in it self).

Namun demikian cara pandang atau konsepsi analisis partisipasi masyarakat sebagai sebuah tujuan, masih tetap menyisakan kelemahan. Indikator dan pengukuran yang digunakan dalam telaah partisipasi masyarakat seringkali tidak mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri. Keadaan ini menyebabkan partisipasi masyarakat acapkali diterjemahkan hanya sebagai kontribusi tenaga dan finansial masyarakat dalam program pembangunan, sehingga keterlibatan masyarakat dianggap terbatas hanya dalam tahap implementasi/pelaksanaan program saja. Segala bentuk perencanaan dan pengambilan keputusan awal telah dilakukan di tingkat yang lebih atas, sehingga masyarakat hanya tinggal melaksanakannya saja. Dengan demikian, kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi pada program tersebut hanya tersisa pada bentuk kontribusi finansial dan tenaga kerja pada tataran implementasi.

Permasalahan partisipasi masyarakat pada akhirnya bukan hanya sekedar bagaimana pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan, tetapi juga pada telaah mengenai partisipasi itu sendiri melalui pembuatan model atau construct partisipasi. Jika terjadi suatu persamaan persepsi mengenai partisipasi masyarakat, maka dapat diususun indikator-indikator yang relatif ideal, yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan hukum daerah. Analisis dan pengukurannya tidak cukup hanya dengan melihat ada atau tidaknya partisipasi tersebut, namun perlu pula dilihat derajat atau tingkat partisipasi masyarakat, kelompok individu atau perorangan di dalam masyarakat tersebut (Eng, et. Al, 1986).

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama dari penelitian ini akan difokuskan pada : bagaimana menyusun sebuah telaah terhadap indikator derajat/tingkat partisipasi masyarakat agar mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri, sehingga partisipasi masyarakat dapat diakui sebagai faktor yang memberi kontribusi positif terhadap keberhasilan program pembangunan di bidang hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah.

Secara lebih spesifik, permasalahan penelitian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :

1. Apa saja bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?

2. Apa saja indikator-indikator ideal yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dan upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?; dan

3. Apa saja upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
3. Kerangka Teori

Teori adalah suatu cara untuk mengklasifikasikan fakta, sehingga seluruh fakta tersebut dapat dipahami sekaligus (Zanden, 1979). Kerangka teori sangat bermanfaat bagi suatu penelitian, yaitu :

1. mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

2. mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi;

3. merupakan suatu ikhtisar dari hal-hal yang sudah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti;

4. memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

5. memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Sherry R. Arnstein

Menurut Arnstein (1969), adanya partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan oleh terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok masyarakat penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta tersebut kemudian digambarkan sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut :

TANGGA DERAJAT PARTISIPASI DARI ARNSTEIN

(Arnstein’s Ladder of Citizen Participation) :

Penguasaan Masyarakat à Tingkat Penguasaan Masyarakat

Delegasi Wewenang

Kemitraan

Plakasi à Tingkat Tokenisme

Konsultasi

Pemberian Informasi

Terapi à Tingkat non-Partisipatif

Manipulasi

Gradasi terendah adalah tingkatan yang masyarakatnya hanya ramai-ramai diikutsertakan dalam kegiatan tanpa diberi wewenang untuk menolak atau memberi saran, dan tanpa tahu keuntungan apa bagi mereka (non-participation), meningkat ke gradasi penyertaan wakil masyarakat dalam kepanitiaan, tetapi hanya berfungsi sebagai tukang stempel tanpa mempunyai kekuasaan dalam memutuskan sesuatu karena akan kalah suara (degree of tokenism), sampai ke gradasi pengendalian total dari kegiatan mulai dari awal sampai akhir oleh masyarakat (degree of citizen control).

John M. Cohen dan Norman T. Uphoff

Membagi partisipasi masyarakat kedalam dua elemen yang saling bertautan satu sama lain, yaitu dimensi partisipasi dan konteks partisipasi. Dimensi partisipasi menjelaskan tentang apa yang dilakukan dalam kegiatan (what dimension), dan bagaimana partisipasi tersebut berjalan (how dimension). Konteks partisipasi menunjukkan latar belakang teknis dari program, dan latar belakang sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi timbulnya partisipasi tersebut.

Partisipasi pada dimensi what dapat terjadi dalam empat langkah proses pelaksanaan suatu program yaitu:

1. partisipasi dalam proses pengambilan keputusan;

2. partisipasi dalam implementasi/ pelaksanaan program;

3. partisipasi dalam pemanfaatan hasil program; dan

4. partisipasi dalam penilaian.

Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan merupakan hal yang sangat penting, karena pada tahap itu masyarakat sering terabaikan. Program kegiatan langsung turun dalam bentuk jadi sehingga masyarakat tinggal melaksanakan saja, tanpa ada kesempatan untuk memberi masukan dan lain sebagainya. Menurut Uphoff dan Cohen, ada tiga jenis proses pengambilan keputusan, yakni:

1. Initial decision merupakan proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan program kegiatan. Seringkali anggota masyarakat tidak disertakan pada proses pengambilan keputusan pada tahap itu karena umumnya program telah ditentukan dari atas, mulai dari penentuan masalah, pendekatan pemecahan masalah, sampai cara pemecahan masalah yang dipakai;

2. On-going decision adalah pengambilan keputusan selama proses pembangunan berjalan. Tahap itu sangat kritis, karena sangat berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya pembangunan yang dijalankan. Tahap itu memberi banyak kesempatan kepada anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, seperti perlu atau tidaknya penambahan atau pengurangan kegiatan yang sedang berjalan, dan lain-lain;

3. Operational decision lebih bersangkut-paut dengan pengorganisasian pelayanan yang didirikan oleh program, bagaimana cara pengoperasiannya, siapa-siapa yang harus mengoperasikan dan memelihara bangunan atau alat yang dihasilkan, prosedur pertemuan, dan lain-lain.

Partisipasi masyarakat dalam implementasi atau pelaksanaan program dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu:

1. partisipasi dalam kontribusi resources yang dapat berupa tenaga kerja, finansial, bahan-bahan, dan saran-saran atau informasi;

2. partisipasi dalam kegiatan administratif yang dapat berupa kegiatan pencatatan dan pelaporan serta berbagai kegiatan administratif lainnya; dan

3. keanggotaan pada suatu kepanitiaan kegiatan sudah pula dianggap sebagai partisipasi mereka dalam kegiatan tersebut.

Bentuk ketiga dari dimensi what ini adalah kemauan masyarakat untuk memanfaatkan hasil pembangunan yang telah dilakukan, disebabkan adanya keuntungan (benefit) yang akan diperoleh masyarakat. Keuntungan tersebut dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu :

1. keuntungan yang bersifat material yang dapat berupa peningkatan penghasilan, kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, dan sebagainya;

2. keuntungan yang bersifat sosial yang pada dasarnya adalah keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat secara umum, misalnya adanya puskesmas, sekolah, sarana air bersih, tempat pelayanan lain dalam lingkungan masyarakat tersebut; dan

3. keuntungan yang bersifat personal yang dapat berupa kepuasan pribadi karena berpartisipasi dalam suatu kegiatan, mendapatkan wewenang atau kekuasaan dari kepartisipasiannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan sebagainya.

Disamping keuntungan yang diperoleh masyarakat atau anggota masyarakat dengan adanya suatu program pembangunan, penting pula dipikirkan adanya dampak negatif dari program tersebut bagi masyarakat. Apabila ada dampak negatif, maka menurut Uphoff dan Cohen, hal itu perlu diperhitungkan dalam analisis partisipasi masyarakat sebagai faktor penghambat.

Bentuk partisipasi keempat, dari dimensi what ini adalah partisipasi masyarakat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Kesempatan melakukan penilaian jarang sekali diberikan kepada masyarakat, walaupun mereka mampu melakukannya. Umumnya kegiatan tersebut selalu didominasi oleh petugas, dengan alasan bahwa kegiatan itu bersifat terlalu teknis. Mereka melupakan bahwa adanya laporan yang bersifat informal mengenai jalannya kegiatan, tulisan-tulisan dalam surat pembaca dari suatu media massa, dan berbagai bentuk protes lainnya adalah merupakan salah satu petunjuk, bahwa masyarakat mampu dan telah melakukan suatu bentuk penilaian terhadap suatu kegiatan.

Dimensi siapa atau who dalam partisipasi masyarakat sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain, tergantung pada struktur masyarakat setempat. Umumnya dimensi itu dapat diidentifikasikan dalam empat kelompok utama, yaitu: (1) penduduk setempat, (2) pemimpin formal dan informal setempat, (3) petugas pemerintah atau provider, dan (4) tenaga asing (pada beberapa kegiatan yang mendapat pembiayaan dari negara lain).

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa setiap kelompok tersebut mempunyai fungsi dan peran sendiri-sendiri dalam progam pembangunan, sehingga dalam menganalisis partisipasi setiap kelompok perlu diperhatikan siapa dan mengerjakan apa. Mengetahui siapa yang paling banyak berperan dalam kegiatan, merupakan indikator yang penting dalam partisipasi masyarakat. Semakin besar peran anggota masyarakat dalam kegiatan—baik secara kualitatif maupun kuantitatif—menunjukkan semakin tinggi partisipasi masyarakatnya. Namun bila dilihat dari batasan masyarakat yaitu masyarakat merupakan suatu unit of action yang terdiri atas berbagai kelompok tetapi merupakan suatu kesatuan, pembagian kelompok yang terlalu rinci menjadi kurang relevan. Masyarakat merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri atas berbagai kelompok dan strata.

Dimensi bagaimana atau how menunjukkan dalam bentuk apa partisipasi masyarakat tersebut diwujudkan. Dimensi tersebut juga sangat luas, tergantung pada variasi keadaan sosial masyarakat setempat. Uphoff dan Cohen menyebutkan beberapa wujud partisipasi masyarakat dalam suatu program pembangunan. Pertama, dilihat dari latar belakang mengapa masyarakat berpartisipasi, secara sukarela atau karena ada insentif. Kedua, dilihat dari bentuk partisipasi tersebut, tiap individu berpartisipasi secara langsung atau melalui perwakilan. Ketiga, dilihat dari jangkauan partisipasi tersebut, yang meliputi jangka waktu masyarakat berpartisipasi, dan luas kegiatan yang dilakukan. Keempat, dilihat dari efek partisipasi tersebut terhadap individu maupun kelompok, yang dapat berupa peningkatan respek individu, maupun peningkatan interaksi antar anggota masyarakat.

Partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi dengan menelaah beberapa komponen partisipasi yang merupakan tahapan kegiatan dalam proses pembangunan hukum yang masyarakat atau anggota masyarakatnya dapat terlibat didalamnya. Tahapan-tahapan tersebut adalah : (1) penelaahan kebutuhan (need assessment), (2) proses perencanaan (planning process), (3) pelaksanaan program (program implementation), (4) pemantauan dan penilaian (monitoring and evaluation), dan (5) pengembangan program (program expansion).

Komponen partisipasi yang dapat dipakai sebagai indikator adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat pada tiap tahapan program pembangunan hukum. Pada dasarnya, komponen tersebut merupakan variabel komposit yang dapat diamati dan diukur. Komponen-komponen tersebut, sebagai berikut :

1. Pengelolaan program. Yang termasuk dalam komponen ini adalah proses pengambilan keputusan (decision making process), kepemimpinan (leadership) yang erat kaitannya dengan proses pengambilan keputusan dan pengorganisasian (organization);

2. Kegiatan administrasi (administration). Komponen ini antara lain ditunjukkan melalui kegiatan pencatatan, dan pelaporan berbagai kegiatan yang dilakukan;

3. Kontribusi. Komponen ini meliputi baik dalam hal waktu, tenaga, finansial, material, maupun ide serta saran (resources contribution or mobilization) untuk terlaksananya kegiatan posyandu;

4. Pemanfaatan hasil program (utilization of program’s outcome). Komponen ini ditunjukkan melalui seberapa besarnya program pembangunan hukum dimanfaatkan oleh kelompok sasaran; dan

5. Kegiatan lain yang bertujuan untuk pengembangan dan pendukung program (program improvement and support). Komponen ini menunjukkan aspek kualitatif partisipasi masyarakat karena mengukur berbagai kegiatan inovatif yang bertujuan meningkatkan hasilguna dan daya guna program pembangunan hukum.

Komponen pemantauan dan penilaian mempunyai dua sisi, yaitu sebagai suatu kegiatan dan sebagai suatu tahapan dari suatu program. Sebagai suatu kegiatan, pemantauan dan penilaian dapat dipakai sebagai indikator partisipasi masyarakat, tetapi kegiatan itu erat terkait dengan komponen pengelolaan (manajemen), sehingga pengidentifikasiannya dapat disatukan dalam komponen tersebut.

Konteks partisipasi menunjukkan mengapa masyarakat mau berpartisipasi dalam suatu kegiatan, yang ditunjukkan dalam karakteristik kegiatan tersebut dan latar belakang sosial masyarakat setempat, yang dapat mendorong atau mempengaruhi masyarakat untuk mau atau tidak mau berpartisipasi.

Melalui elaborasi terhadap konsep Uphoff dan Cohen, dapat disimpulkan bahwa adanya partisipasi masyarakat ditunjukkan oleh keterlibatan masyarakat setempat termasuk tokoh masyarakatnya pada setiap tahap kegiatan pembangunan hukum dalam hal :

1. Proses pengambilan keputusan;

2. Proses pelaksanaan program yang dapat berupa kontribusi sumber daya (resources) dalam wujud tenaga, finansial, serta kegiatan administratif; dan

3. Proses pemanfaatan hasil program.
Ter Haar Bzn

Dalam teorinya tentang keputusan (beslissingenleer) dikemukakan bahwa keputusan yang diambil atau dilakukan oleh warga masyarakat atau pejabat-pejabat hukum, harus dilihat sebagai kaidah hukum individual atau kongkrit, yang menyimpulkan kaidah hukum umum yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama.
4. Kerangka Konsep

Suatu kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.

Didalam ilmu-ilmu sosial, konsep-konsep tersebut sebaiknya diambil dari teori (apabila ada), atau mungkin dari hasil suatu pengamatan (observasi).

Suatu kerangka konsep pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsep kadang-kadang dirasakan masih juga bersifat abstrak, sehingga masih diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan kongkrit didalam proses penelitian. Sehingga dengan demikian, selain terdiri dari konsep konsep, suatu kerangka konsep dapat pula mencakup definisi-definisi operasional.

4.1. Pengertian Masyarakat

Terminologi masyarakat yang sering dipergunakan umum mencakup tiga komponen, yaitu : (1) kelompok individu yang hidup dalam satu wilayah tertentu, (2) adanya hubungan antar individu di luar rumah tangga yang bersifat hubungan sosial dan saling membantu, serta (3) adanya kesamaan norma dan nilai sehingga menimbulkan rasa solidaritas dan kegiatan bersama (Greenblat, 1981). Batasan itu menonjolkan lokalitas bersama, dan jaringan hubungan antara anggota masyarakat, tetapi tidak menunjukkan adanya dinamika dari suatu masyarakat, padahal masyarakat itu selalu berkembang walaupun kecepatan perkembangan tersebut berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Berbagai batasan tersebut tidak menunjukkan adanya dinamika masyarakat dan perbedaan peran tiap anggota masyarakat. Pandangan para ahli yang terlibat dalam pengembangan masyarakat, menambah batasan tersebut dengan indikator adanya kemampuan para anggotanya dalam mengorganisasikan kelompok mereka sedemikian rupa, sehingga kelompok tersebut mampu menanggulangi setiap perubahan dan situasi yang meengancam kebersamaan dan stabilitas mereka. Pengorganisasian tersebut menimbulkan stratifikasi dari anggota masyarakat sehingga terjadi suatu pola hubungan tertentu antar anggotanya yang mencegah terjadinya pertentangan antara satu individu dengan individu lainnya dalam upayanya mencapai tujuan bersama (Clelland, 1974; Greenblat, 1981).

Stratifikasi juga menunjukkan posisi tiap anggota masyarakat dalam struktur kemasyarakatan yang dihubungkan dengan tanggung jawab mereka, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Kegiatan tersebut akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan dari masyarakat tersebut (Bates & Julian, 1975). Di samping itu masyarakat juga selalu berubah. Perubahan tersebut tidak hanya pada jumlah anggotanya saja, tetapi menyangkut juga perubahan kebutuhan berdasarkan berbagai pengalaman tiap anggota masyarakat.

Konsep terakhir tersebut menunjukkan adanya usaha pencapaian kebutuhan masyarakat secara mandiri yang selalu berubah mengikuti berbagai pengalaman masyarakat itu (Upgalde, 1985). Konsep itu juga lebih cocok dipakai dalam studi yang bertujuan untuk menganalisis partisipasi masyarakat sebagai suatu proses dinamis. Batasan tersebut juga telah mencakup kedua pengertian yang disebut terdahulu, disamping juga mendukung kenyataan bahwa masyarakat bukanlah penerima pasif dari suatu kegiatan, melainkan merupakan mitra kerja dalam setiap kegiatan pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menelaah partisipasi masyarakat perlu diperhatikan peran masing-masing anggota masyarakat yang ikut terlibat dalam proses pembangunan, termasuk bagaimana peran tersebut dilaksanakan (Uphoff, et al, 1979)

4.2. Pengertian Partisipasi

Istilah partisipasi (participation) atau partisipasi atau juga mempunyai arti yang luas. Sering istilah tersebut diasumsikan hanya sebagai ‘kontribusi’ finansial, material, dan tenaga dalam suatu program. Kadang juga diberi pengertian sebagai self-help, self reliance, cooperation dan local autonomy dimana istilah-istilah tersebut kurang menggambarkan apa yang dimaksud dengan partisipasi itu sendiri. Self-help, self reliance dan local autonomy menggambarkan kondisi akhir yang diharapkan dari suatu program yang memakai pendekatan partisipatif. Cooperation menunjukkan cara bagaimana partisipasi masyarakat diimplementasikan pada suatu kegiatan atau program.

Bank dunia (1978) memberi batasan partisipasi masyarakat sebagai: “…the involvement of all those affected in decision making about what should be done and how, mass contribution to the development effort i.e. to the implementation of the decision, and sharing in the benefits of the programme.”

Batasan itu mengandung tiga pengertian : (1) keterlibatan masyarakat yang terkena dampak pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan cara mengerjakannya, (2) keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan, dan (3) bersama-sama memanfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari program tersebut (Rifkin, 1990).

Dari beberapa pengertian tentang masyarakat dan partisipasi masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud partisipasi masyarakat dalam porgram pembangunan adalah:

“Suatu proses keterlibatan yang bertanggungjawab dalam suatu kegiatan dari suatu kelompok individu yang merupakan suatu unit kegiatan (unit of action) dalam proses pengambilan keputusan, kontribusi dalam pelaksanaannya dan pemanfaatan hasil kegiatan, sehingga terjadi peningkatan kemampuan kelompok tersebut dalam mempertahankan perkembangan yang telah dicapai secara mandiri.”

Dalam operasionalisasinya, batasan-batasan tersebut perlu dijelaskan bagaimana dan dengan cara apa proses tersebut berlangsung, kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan dan seberapa jauh kegiatan tersebut dilakukan sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan indikator dan pengukurannya.

4.3. Pengertian Partisipasi Masyarakat

Dalam pengertian partisipasi tercakup dua sistem yang terlibat dalam suatu kegiatan. Kedua sistem itu adalah sistem dari pemerintah yang merupakan provider di pihak kesatu, dan dengan sistem dari masyarakat di pihak lain. Kedua pihak secara fungsional sering mempunyai karakteristik dan pandangan yang sangat berbeda dalam konteks partisipasi. Berdasar pandangan bahwa program pengembangan masyarakat adalah sama dengan pengembangan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin (rural poor community). Pandangan ini sering ada pada sudut pandang pemerintah atau provider, partisipasi masyarakat seolah-olah merupakan kewajiban yang harus diadakan oleh ‘masyarakat yang mendapat bantuan’. Dalam keadaan tersebut, masyarakat tidak mempunyai otoritas terhadap kegiatan karena semuanya telah ‘diatur’ dan ‘dijadwal’ oleh pemberi kegiatan.

Di pihak lain, masyarakat menyatakan bahwa program pengembangan itu dapat pada siapa saja, tidak peduli apakah kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin ataupun kelompok masyarakat di kota yang sudah cukup dari segi sosial ekonomi. Pendapat itu menganggap bahwa partisipasi merupakan hak dari masyarakat. Masyarakat boleh menggunakan atau tidak menggunakan ‘hak’ tersebut dalam suatu kegiatan yang diadakan oleh pemberi kegiatan. Apabila pemberi kegiatan menginginkan partisipasi masyarakat, diperlukan suatu pendekatan tertentu untuk mendapatkannya (Arnstein, 1969).

Peter Oakley dan David Marsden (1985) juga menyimpulkan bahwa banyaknya variasi dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat disebabkan oleh setiap batasan menonjolkan dimensi yang berbeda dari partisipasi masyarakat. Satu pendapat menyatakan bahwa jika ada keterlibatan dari masyarakat, bagaimanapun bentuk dan prosesnya, maka dikatakan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hal itu memang tidak keliru tetapi masih kurang tepat karena hanya melihat aspek kuantitatif dari partisipasi. Implementasi pendapat itu sering berupa mobilisasi sumber daya masyarakat dalam suatu kegiatan tanpa masyarakat tahu apa tujuan kegiatan tersebut dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan keterlibatannya.

Batasan lain menyatakan bahwa secara konseptual, partisipasi terjadi apabila telah ada pembagian ulang kekuasaan (redistribution of power) dalam menentukan pelaksanaan kegiatan tersebut antara penyedia kegiatan (provider) dengan mayarakat (Arnstein, 1969). Namun peneliti lain menyatakan bahwa ‘wewenang dalam pengambilan keputusan’ hanyalah salah satu komponen dari yang disebut sebagai partisipasi. Kontribusi tenaga kerja, material dan finansial juga merupakan komponen dari partisipasi di samping komponen lainnya (Uphoff & Cohen, 1979).

Penulis lain mengatakan, dalam menentukan partisipasi masyarakat, tidak perlu melihat dalam bentuk apa partisipasi masyarakat tersebut tampak, tetapi menitikberatkan pada apa yang seharusnya dicapai pada akhir suatu kegiatan dengan partisipasi, yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan dan tanggung jawabnya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pelaksanaannya. Pendapat itu memandang partisipasi hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu (participation as a means) sehingga analisis lebih memberi kesan ke arah identifikasi keluaran (output) partisipasi masyarakat, dan bukan pada pengertian partisipasi masyarakat itu sendiri (Askew, 1989).

4.4. Pengertian Pembangunan Hukum

Pembangunan Hukum dan perundang-undangan dimaksudkan sebagai upaya menciptakan sistem hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin meningkat dan makin lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum nasional dan produk hukum. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan pemasyarakatan hukum, peningkatan pelaksanaan penegakan hukum secara konsisten dan konskekuen, peningkatan aparat hukum yang berkualitas dan bertanggungjawab, serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai (GBHN, 1999).

5. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasikan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan

2. Mengidentifikasikan indikator-indikator yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian terhadap keberhasilan penyusunan peraturan daerah

3. Mengidentifikasikan upaya-upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah.

6. Signifikansi Penelitian

6.1. Signifikansi Teoritis

Mendorong penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang sama maupun masalah lain yang ada pada kabupaten/kota dan hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang partisipasi masyarakat kabupaten/kota dalam proses penyusunan peraturan-peraturan daerah.

6.2. Signifikansi Praktis

Bagi para pembuat kebijakan, penelitian ini berguna untuk :

1. Membuat perencanaan penyusunan peraturan-peraturan daerah yang lebih berorientasi kepada optimalisasi partisipasi masyarakat;

2. Menganalisis maupun mengevaluasi partisipasi masyarakat yang tumbuh dalam masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah yang telah berjalan; dan

3. Mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk pengembangan maupun perbaikan pada tahap selanjutnya.

7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Guna memenuhi tujuan penelitian yang telah dikemukakan, penelitian ini dirancang sebagai penelitian dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan dilakukan melalui suatu tahapan eksploratif, yang bertujuan mengidentifikasi indikator partisipasi masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah yang mencakup dua kegiatan utama, yaitu :

a. telaah dokumen dan kepustakaan, untuk mendapatkan gambaran mengenai penyusunan peraturan daerah dan menentukan variabel-variabel tentatif yang dapat dipakai sebagai indikator dari partisipasi masyarakat; dan

b. studi di lapangan, yang bertujuan untuk mengidentifikasikan apakah indikator tentatif telaah kepustakaan tersebut memang terdapat dalam penyusunan peraturan daerah yang dilaksanakan oleh masyarakat. Bila kegiatan tersebut dilakukan, dalam bentuk apakah wujud kegiatan tersebut. Dari melihat wujud kegiatan, kemudian dapat ditentukan karakteristik dan dimensi tiap indikator.

1.7.2. Identifikasi Variabel variabel

Sebagai hasil akhir penelaahan kepustakaan dan studi di lapangan, teridentifikasikan variabel-variabel utama yang akan dilibatkan dalam penelitian (Suryabrata: 1992). Dalam penelitian ini, variabel-variabel itu merupakan variabel komposit yang dapat diamati dan diukur yaitu dalam bentuk komponen-komponen partisipasi yang dipergunakan juga dipakai sebagai indikator. Komponen-komponen tersebut adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat pada tiap tahapan kegiatan penyusunan peraturan daerah.

1.7.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan terdapatnya variasi pada status sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian, oleh karena lokasi penelitian merupakan daerah yang baru berkembang (urbanized—transisi dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan), sehingga pada akhirnya dari hasil penelitian diharapkan diperoleh gambaran tingkat partisipasi masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah (khususnya program posyandu) di Kelurahan Sukahati tersebut.

1.7.4. Pengumpulan data

Pada dasarnya, pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan secara kualitatif dan atau secara kuantitatif dan merupakan dua cara yang saling melengkapi, oleh karena kedua cara tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan masing-masing. (Soekanto: 1986)

Peneliti kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistik, misalnya oleh karena ternyata hasilnya tidak memuaskan karena tidak terdapat hubungan. Untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk melengkapi penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti kuantitatif tersebut menggunakannya secara bersama-sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat digunakan apabila desainnya memanfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai pelengkap saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Glaser dan Strauss dalam Moleong (2001: 22), yaitu dalam banyak hal, kedua bentuk data tersebut diperlukan, bukan kuantitatif menguji kualitatif, melainkan kedua bentuk tersebut digunakan bersama dan apabila dibandingkan masing-masing dapat digunakan untuk keperluan menyusun teori.

DAFTAR PUSTAKA

Arnstein, Sherry R. (1969) A Ladder of Citizen Participation, American Institute of Planners Journal.

Askew, I (1989) Organizing Community Participation in Family Planning Projects in South Asia. Study on Family Planning.

Bates, Alan P. and Julian, J. (1975) Sociology. Understanding Social Behavior. Boston: Houghton Mufflin Co.

Clark, John. (1995) “The State, Popular Participation, and the Voluntary Sector.” World Development 23, No. 4.

Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff dalam Ibnu Syamsi. (1986) Pokok-pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional dan Regional. Jakarta: Rajawali.

Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff. (1980) “Participation’s Place in Rural Development: Seeking Clarity Through Specificity.” Dalam World Development

Clelland, Donal A. (1974) Social Stratification. In The Study of Society. Whitten and O’Connel (eds). Guildford Connecticut: The Dushkin Publishing Group, Inc.

Friedmann, John. (1992) Empowerment—The Politics Alternative Development. Cambridge: Blackwell Publishers.

Greenblat, C.S. (1981) Social Structure. Chapter IV. In An Introduction to Sociology. New York: Alfred A. Konpf. Inc

Korten, David C. (1984), People Centered Development Contributions Toward Theory and Planning Frameworks, terjemahan A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. (1999) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakadya.

Oakley, Peter dan David Marsden. (1984) Approaches to Participation in Rural Development. Geneva: ILO.

Peters, A.A.G; Siswosoebroto, Koesriani. (1990), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku I, II dan III. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ranawijaya, Usep. (1983) Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rifkin, SB; F. Muller; W. Bichman. (1988) Primary Health Care: on Measuring Participation. Social Science and Medicine. 26(9): 931-940

Sekretariat Negara (1999) Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta: Sekretariat Negara Publishing.

Soekanto, Soerjono. (1986) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soekanto, Soerjono; Mamudji, Sri. (2001), Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Suryabrata, Sumadi. (1992) Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali.

Sunter, 29 Desember 2003

Read More......