Friday, April 18, 2008

HUKUM, MORAL DAN KEADILAN

Kita telah mengenal hukum sebagai suatu himpunan kaidah-kaidah yang bersifat memaksa atau dengan perkataan lain suatu himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa. Peraturan-peraturan itu dibuat untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia pada saat melakukan hubungan dengan sesamanya dalam pergaulan hidup.

Selain hukum sebagai suatu himpunan peraturan, maka terdapat pula cita-cita mengenai hukum yang tumbuh dan berkembang sedemikian kuat dan mendalam sehingga dalam perasaan dan percakapan sehari-hari telah berubah menjadi suatu tuntutan hukum yang diakui dan dipertahankan.1

Anjuran bagi penguasa untuk tidak menyelundupkan kepentingan-kepentingan mereka atau kelompoknya dalam bentuk peraturan-peraturan formal yang dapat dikeluarkan berdasarkan wewenang yang dimilikinya, merupakan suatu anjuran moral atau rasa susila yang seyogyanya senantiasa ada pada bathin mereka.

Kaidah moral atau kesusilaan hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban daripada hak kepada orang-orang yang diharapkan memenuhi anjuran yang menjadi peraturan dalam nurani mereka, sehingga jika penguasa tersebut akan memandang moral atau rasa susila tersebut sebagai hak orang lain (dalam hal ini rakyat dan masyarakat bangsa), maka ia akan meninggalkan upaya penyelundupan hukum -demi kepentingan mereka yang berkedok hukum formal-dan membuat peraturan-peraturan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, hukum menetapkan kode moral yang lazim atau dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan fungsi sosial manusia atau suatu moralitas hukum yang spesifik, yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang harus dikembangkan dalam praktik di bidang hukum, termasuk penerbitan peraturan-peraturan oleh penguasa yang memiliki wewenang untuk itu.

Akhirnya, hukum sebagai keseluruhan dapat dilihat sebagai penggabungan moralitas/keadilan sosial, terhadap mana individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi pemerintah harus senantiasa mengorientasikan tingkah lakunya. Karena tuntuan masyarakat dapat sangat berbeda dengan pembuat hukum, maka mereka sebaiknya kita harus menduga bahwa konsepsi-konsepsi mengenai kewajaran sosial, politik, ekonomi, dan khususnya kewajaran hukum, seperti yang tercantum dalam hukum harus merupakan perwujudan moralitas sosial.

Selanjutnya, berdasarkan keyakinan bahwa hukum merupakan penggabungan moralitas sosial maka kami mencoba melakukan pengujian sederhana mengenai efektivitas pemberlakuan produk perundang-undangan dalam masyarakat dengan menggunakan 3 (tiga) alat uji yaitu substansi hukum (legal substance) , struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

Asumsi yang mendasari tema ini ialah bahwa hukum bisa, atau, seringkali bertentangan dengan moralitas atau keadilan sosial. Hal ini menimbulkan pertanyaan : bagaimana serta dalam kondisi mana hukum-sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan-dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.

Dari hasil analisis yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap pembuatan undang-undang didapatkan ciri-ciri kekuasaan hukum dalam masyarakat kapitalis, yaitu wataknya yang palsu, dimana keinginan atau kenyataan yang ada dalam masyarakat dirumuskan berdasarkan keinginan-keinginan pihak yang berkepentingan melalui baju rasionalitas hukum formal dan dengan cara seperti itu kekuasaan hukum dinyatakan berlaku. Tetapi apabila kepentingan-kepentingan kelas terbentur asas-asas hukum yang telah ditegakkan, maka dibuatlah pengecualian-pengecualian dan terjadilah penyimpangan dari asas-asas hukum tersebut yang dibuat dalam bentuk yang (seolah-olah) formal juga, yang menurut Marx disebut sebagai ketidakjujuran kelas yang berkuasa terhadap hukum 2

Gambaran Marx seperti itu ternyata terjadi pula di Indonesia terutama di masa Orde Baru, hukum yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan sangat mudah diputarbalikkan oleh penguasa (pemerintah) demi mengamankan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka yang membuat peraturan, mereka pula yang paling pertama melakukan pelanggaran atau membuat pengecualian-pengecualian. Secara teknis legal formal, pengaturan-pengaturan yang dibuat oleh penguasa kadang-kadang terlihat sangat valid dalam materinya, namun acapkali substansi materi peraturan tersebut ternyata hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan penguasa atau pihak yang berada dibelakangnya.

Terjadi penyelelundupan-penyelundupan kepentingan yang terjadi pada penerapan hukum, sehingga yang muncul pada materi perundang-undangan tampak dari luar sah dan valid namun dilihat dari segi substansinya terlihat sangat immoral, artinya seringkali merupakan perwujud penipuan-penipuan terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.

Sistem atau struktur hukum Indonesia yang merupakan warisan sistem hukum Belanda, berangkat dari pemikiran-pemikiran eropa kontinental dimana positivisme mengalir sangat kuat, hukum diwujudkan lebih kepada perangkat aturan-aturan tertulis dan acapkali mengabaikan sumber-sumber hukum lain seperti adat-istiadat, kebiasaan dan yurisprudensi yang lebih banyak merupakan perwujudan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Saya berpendapat, bahwa sistem hukum Erapa kontinental hanya dapat berlaku efektif dan efisien pada masyarakat-masyarakat yang telah memiliki kesadaran atau mental hukum (legal culture) yang sangat tinggi seperti pada negara-negara yang telah maju, sementara di Indonesia dimana pemerintah dan masyarakatnya belum sepenuhnya sadar akan supremasi hukum tampaknya akan lebih cocok apabila diberlakukan sistem hukum yang dianut seperti pada negara-negara Anglo Saxon, dimana hukum tercipta melalui kesadaran yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri, yang tidak melulu terpatok dalam buku-buku perundang-undangan yang kaku.

Kelemahan lain dapat saya gambarkan disini bahwa asas tata urutan perundang-undangan (Tap MPRS No. XX Tahun 1966) yang mengacu kepada teori stufenbau des recht seringkali ternyata dalam pelaksanaannya di Indonesia diputarbalikkan, seperti misalnya Keputusan-keputusan Presiden yang seharusnya melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ternyata acapkali menyimpang atau bahkan bertentangan dengan undang-undang yang seharusnya dipedomani. Atau seringkali kita jumpai bentuk-bentuk peraturan yang secara limitatif telah diatur, ternyata dalam kenyataannya muncul bentuk-bentuk lain seperti Keputusan Bersama Menteri.

Berdasarkan atas hal-hal tersebut, menurut pendapat saya, sudah saatnya Indonesia memikirkan perubahan-perubahan secara mendasar pada sistem hukumnya, sehingga dapat secara fleksibel mengakomodasi perubahan-perubahan materi perundang-undangan seperti yang telah digambarkan di atas, sehingga tidak akan ada lagi hujatan yang dialamatkan kepada pemerintah bahwa selama ini ternyata tidak konsisten melaksanakan asas-asas yang berlaku umum dalam dunia ilmu hukum.

Dengan demikian, hukum harus senantiasa berada dimuka, guna mengantisipasi perubahan-perubahan mendasar yang sangat cepat terjadi pada masyarakat sehingga permasalahan-permasalahan yang berkembang di masyarakat akan segera mendapatkan jawaban dan pemecahannya sedini dan sesegera mungkin, dan jika kita merujuk kepada pendapat seorang penganut pragmatisme hukum dari Amerika Serikat yaitu Roscoe Pound dikatakan bahwa hukum harus dijadikan sebagai alat pembaruan sosial (law as a tool of social engineering).

Dalam hukum, moralitas diinterpretasikan dalam berbagai cara. Pertama, sebagai larangan atas perbuatan immoral yang terdiri atas perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang-orang atau pada masyarakat, misalnya pencurian atau pembakaran dan kegiatan yang tidak menimbulkan kerugian seperti itu misalnya dalam hal pelarangan pelacuran dan pelanggaran-pelanggaran lainnya dalam bidang moralitas seksual dan kesusilaan umum.

Kedua, hukum menetapkan kode moral yang lazim dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan fungsi sosial. Misalnya hukum kontrak, mengharuskan cara-cara tertentu bagi pihak-pihak yang terikat dalam hubungan-hubungan kontrak. Hukum perburuhan berisi berbagai peraturan moral bagi interaksi antara majikan dan buruh. Terdapat juga peraturan-peraturan yang bersifat indisipliner bagi berbagai profesi penting, seperti misalnya profesi-profesi dokter, ahli hukum dan wartawan.

Ketiga, terdapat suatu moralitas hukum yang spesifik, yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang dikembangkan dalam praktik di bidang hukum dan yang terikat dalam lembaga-lembaga dan ajaran-ajaran hukum. Moralitas hukum ini merupakan bidang khusus para ahli hukum dan para sarjana hukum. Seringkali moralitas ini harus dilindungi terhadap pendapat mayoritas dan terhadap kepentingan-kepentingan politik dan sosial yang penting, misalnya, asas proses hukum yang wajar dalam pengadilan-pengadilan terhadap teroris politik. Disini kita menjumpai peraturan-peraturan dan asas-asas hukum yang spesifik bagi pemakaian dan pelaksanaan peraturan-peraturan lainnya, seperti asas bahwa tidak seorangpun boleh dihukum kecuali jika ia terbukti bersalah karena melanggar peraturan hukum yang diumumkan dan diketahui sebelumnya, dan kecuali jika ia telah diberi kesempatan untuk didengar dan untuk membela dirinya.

KESADARAN HUKUM YANG BENAR DAN KESADARAN HUKUM YANG PALSU

Hukum terutama merupakan gejala kebudayaan maupun gejala komunikatif, yaitu gejala antar hubungan (hubungan antara manusia denga manusia, hubungan antara manusia dan masyarakat atau golongan, dan sebagainya). Dalam pergaulan kemasyarakatan, hukum mempunyai arti penting sebagai sumber hubungan sebab- karena hukum sekaligus menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut dan apa yang tidak patut, juga menetapkan corak dan sifat perbuatan manusia, kadang-kadang membatasi keleluasaan bergerak tetapi juga kadang-kadang melonggarkan keleluasaan bergerak itu. Yang menjadi persoalan utama bukanlah kemungkinan turut sertanya tangan kuat (polisi negara, jaksa atau hakim) atau kemampuan mayoritas dalam badan yang berwenang menentukan sanksi atau hukuman yang tertinggi atau terakhir untuk menyelenggarakan kehendaknya, tetapi justru kepercayaan atau keyakinan bahwa sesuatu peraturan hukum harus dilaksanakan, biarpun dengan digunakannya paksaan fisik. Penyelenggaraan peraturan hukum terutama bukanlah persoalan paksaan psikis. Paling utama adalh kepercayaan atau keyakinan orang banyak bahwa sesuatu peraturan hukum adalah benar dan seharusnya ditaati. Hukum dibentuk berdasarkan pelbagai ide atau anggapan dan tujuan pergaulan, atau masyarakat hukum adalah benar dan seharusnya ditaati. Hukum dibentuk berdasarkan pelbagai ide atau anggapan dan tujuan pergaulan, atau masyarakat hukum adalah mempertahankan, menjelaskan dan melaksanakan anggapan-anggapan tersebut. Ide atau anggapan terpenting dalam hukum itu adalah asas-asas dan kategori-kategori atau konsep-konsep yang menentukan corak dan sifat negara hukum pada umumnya (dan yang dirumuskan oleh pemikir-pemikir borjuis, yaitu asas-asas seperti rule of law, legalitas, acara di muka pengadilan menurut konsepsi bahwa terdakwa diberi hak penuh untuk membela diri dan tidak boleh dianggap bersalah sebelum ada keputusan hakim, kebebasan penuh untuk membuat perjanjian.

*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada Magister Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas Jayabaya, Jakarta.



1 Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

2 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988

Read More......

IKHTISAR ILMU PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA

Kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara, Prof. Dr. R. Soemantri Martosoewignjo, S.H.

1.PENGGUNAAN ISTILAH

Suatu istilah kita pergunakan untuk menentukan apa yang hendak kita berikan sebagai pengertian, sehingga dengan demikian penggunaannya akan mempengaruhi pula ruang lingkup persoalan yang hendak kita kupas atau kita selidiki.

Terdapat 2 (dua) istilah yang digunakan dalam lingkup ilmu yang sedang kita pelajari ini, yaitu perbandingan hukum dan hukum perbandingan. Penggunaan istilah yang berbeda-beda di lingkungan dunia ilmu pengetahuan hukum di Indonesia ini, ternyata juga sebagai dampak dari dipergunakannya 2 (dua) macam istilah di Eropa Kontinental, yaitu :

a.vergelijkendrecht dan rechtvergelijking (Belanda);
b.vergleichendes dan rechtsvergleichung (Jerman);
c.droit compare
dan la methode compare (Perancis).

Apakah yang dimaksud dengan perbandingan hukum tatanegara atau hukum tatanegara perbandingan? Untuk mengetahuinya, kita harus memulai dengan pertanyaan: “Apakah perbandingan hukum atau hukum perbandingan itu?”

Suitens-Bourgois mengatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah cabang dari hukum, ia bukan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri seperti misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum tatanegara, hukum internasional, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa perbandingan hukum adalah satu metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum, pada bermacam-macam mata kuliah hukum. Oleh karenanya, perbandingan hukum bukanlah suatu ilmu pengetahuan, akan tetapi ia hanyalah metode kerja dalam bentuk perbandingan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa jika hukum didefinisikan antara lain sebagai seperangkat aturan, maka perbandingan hukum atau hukum perbandingan tidak mempunyai perangkat aturan-aturan itu. Metode untuk membanding-bandingkan peraturan hukum dari bermacam-macam sistem hukum, tidak membawa akibat terjadinya rumusan peraturan yang berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada yang disebut “peraturan hukum perbandingan.” Ciri dasar dari metode perbandingan ini adalah bahwa ia dapat diterapkan terhadap penelitian mengenai bidang hukum tertentu.

Perbandingan hukum, dapat dibedakan antara :

a.perbandingan hukum deskriptif (menggambarkan), yaitu suatu analisis terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dari dua atau lebih sistem hukum. Peneliti tidak mempunyai maksud untuk mencari jalan keluar (solusi) terhadap persoalan tertentu, baik dalam hal yang abstrak maupun hal yang praktis;

b.perbandingan hukum aplikatif (terapan), yaitu analisis yang dilakukan kemudian diikuti dengan penyusunan sintesis untuk memecahkan suatu masalah. Hal ini dilakukan antara lain untuk melakukan pembaruan suatu cabang hukum atau untuk mempersatukan bermacam-macam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang yang sama.

Jika perbandingan ini kita terapkan pada hukum tatanegara, maka melalui metode ini dilakukan perbandingan terhadap hukum tatanegara dari dua negara atau lebih dengan maksud:

1)memperoleh penjelasan mengenai sesuatu hal tertentu atau 2) untuk mencari jalan keluar tentang sesuatu hal tertentu. Metode perbandingan membawa kita ke arah usaha memperoleh informasi, kejelasan mengenai sistem pemerintahan negara yang diperbandingkan serta jalan keluar dari persoalan yang hampir sama.

2.PENGERTIAN ILMU PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ILMU HUKUM TATA NEGARA DAN ILMU NEGARA

Ketiga ilmu ini mempunyai obyek yang sama, yaitu negara. Pertanyaannya adalah, dimanakan letak perbedaan antara Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara? Jawabannya adalah meskipun obyek penyelidikan ketiga ilmu pengetahuan tersebut sama, namun disamping tugas yang berbeda, ketiga ilmu tersebut meninjau gejala-gejala negara dari sudut yang berlain-lainan.

Obyek ilmu hukum tata negara adalah negara tertentu, khususnya hanya mengenai susunan hukum tata negaranya (het staatsrechtelijk bestel). Sehingga dapatlah dimengerti mengapa biasanya ilmu hukum tata negara dimulai dalam bentuk pemberian komentar, yaitu menafsirkan kaidah-kaidah hukum berdasarkan tata-urutannya dan penyelidikannya hanya terbatas pada negara tertentu saja.

Obyek ilmu perbandingan hukum tata negara adalah bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal tersebut berubah, hilang dan sebagainya, yang dapat diketahui dengan cara menganalisis secara metodis dan menetapkannya secara sistematis.

Obyek ilmu negara adalah ciri-ciri dan sifat-sifat umum dari negara, dengan maksud mempersatukan dalam suatu komplek tertentu.

Tugas ilmu perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg, adalah untuk menganalisis secara metodis dan menetapkan secara sistematis bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal itu berubah, hilang dan lain sebagainya.

Terdapat hubungan yang erat antara ilmu perbandingan hukum tata negara, ilmu hukum tata negara dan ilmu negara:

a.Ilmu negara dengan ilmu perbandingan hukum tata negara: bahwa antara negara yang satu dengan negara yang lain terdapat persamaan maupun perbedaan, adanya bermacam-macam bentuk ketatanegaraan atau sistem ketatanegaraan yang menjadi pokok penyelidikan ilmu perbandingan hukum tata negara adalah juga suatu masalah yang menjadi bidang ilmu negara. Di lain pihak, timbulnya mata pelajaran baru yaitu ilmu perbandingan hukum tatanegara, dapat digambarkan sebagai pertumbuhan dari komplek problema khusus ilmu negara;

b.Ilmu hukum tata negara positif dengan ilmu perbandingan hukum tata negara: dalam mempelajari ilmu hukum tata negara positif, seringkali kita tidak dapat melepaskan diri dari penggunaan perbandingan-perbandingan dengan hukum tata negara lainnya. Metode perbandingan yang dipergunakan oleh hukum tata negara hanya dijadikan sebagai sebuah alat dan bukan merupakan tujuan.

CF. Strong dalam “Modern Political Cosntitution” adalah yang menempatkan ilmu perbandingan hukum tata negara sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dan mempergunakan metode perbandingan sebagai sebuah tujuan.

Ilmu perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg adalah suatu ilmu pengetahuan yang dengan mempergunakan hasil-hasil ilmu negara umum, melakukan pengumpulan dan melakukan penyusunan bahan-bahan tersebut secara metodis dan sistematis untuk kemudian menganalisisnya.

Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, ilmu perbandingan hukum tata negara adalah suatu cabang ilmu hukum yang dengan mempergunakan metode perbandingan berusaha membanding-bandingkan satu atau beberapa aspek hukum tata negara dari dua negara atau lebih.

3.FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ADANYA BERMACAM-MACAM BENTUK ATAU SISTEM KETATANEGARAAN

Persamaan dan perbedaan negara-negara di dunia dapat dilihat dari: sistem pemerintahannya (parlementer, presidentil, quasi parlementer/presidentil, diktatur); bentuk negaranya (serikat, kesatuan, persatuan); bentuk pemerintahannya (republik, kerajaan: absolut/berkonstitusi); sistem badan perwakilan rakyatnya (satu kamar, dua kamar).

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan menurut Kranenburg, adalah disebabkan adanya syarat-syarat/faktor-faktor baik yang bersifat umum (syarat/faktor yang terdapat pada semua negara) maupun syarat-syarat/faktor-faktor yang bersifat khusus (syarat/faktor yang terdapat pada satu negara saja).

Yang termasuk dalam syarat-syarat/faktor-fkator yang bersifat umum, antara lain adalah :

a.adanya ancaman yang datang dari luar, yaitu ancaman kelompok di luar negara, misalnya perang, maupun bentuk-bentuk lainnya. Sebagai konsekuensinya, maka setiap masyarakat negara harus mengorganisir dirinya, yang berarti juga harus ditempuhnya bermacam-macam cara atau sistem berorganisasi dalam setiap masyarakat negara;

b.adanya ancaman yang datang dari dalam negara itu sendiri, sebagai akibat setiap masyarakat negara terdiri dari manusia yang mempunyai bermacam-macam kepentingan sehingga diantara mereka bisa timbul persoalan-persoalan, misalnya tindakan main hakim sendiri (eigen richting). Keadaan ini menyebabkan harus dilakukannya pengaturan sedemikian rupa, sehingga tindakan main hakim sendiri tersebut dilarang;

c.adanya pengetahuan (kennis) yang berkembang secara berangsur-angsur atau tumbuhnya pengalaman dengan cara teratur, yang melekat pada diri manusia sendiri, dimana manusia diberi akal dan rasa sehingga timbullah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pengetahuan, teknologi yang akan menyebabkan pula tumbuhnya kemajuan di bidang kebudayaan dan selanjutnya menyebabkan pula terjadinya kemajuan di bidang organisasi.

Yang termasuk dalam syarat-syarat/faktor-faktor yang bersifat khusus, antara lain adalah :

a.Letak geografi suatu wilayah negara, berupa kepulauan, pegunungan, benua atau daratan menyebabkan syarat/faktor yang bersifat umum bekerja dengan bermacam-macam cara dan bentuk, misalnya berpengaruh terhadap penentuan sistem pertahanan negara, atau kemungkinan-kemungkinan adaptasi sebuah negara misalnya Indonesia karena secara geografis terletak di persimpangan jalan negara-negara, sistem pemerintahannya terpengaruh dari sistem parlementer Inggris dan presidentil Amerika Serikat;

b.Sifat-sifat sesuatu masyarakat bangsa (volkskarakter). Sifat atau watak suatu bangsa sebagai kumpulan manusia mungkin dipengaruhi oleh iklim atau sesuatu yang lain. Dalam hal ini kita melihat adanya pola-pola yang aktif pada suatu bangsa: bangsa yang tidak mudah patah semangat; pola-pola yang kurang aktif pada suatu bangsa: bangsa yang mempunyai sifat-sifat malas, penakut atau melihat segala sesuatu ingin dengan cara mudah (cenderung menempuh sistem despotis);

c.Paham/doktrin politik yang dianut oleh masyarakat negara, misalnya liberalisme dan komunisme.

4.BEBERAPA DERAJAT ILMU PENGETAHUAN DAN KEDUDUKAN ILMU PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA

Ditinjau dari tujuannya, maka kita dapat menggolongkan ilmu pengetahuan dalam :

a.Ilmu pengetahuan yang hanya berusaha mendapatkan kebenaran saja, terlepas dari apakah hal itu memberikan kebahagiaan yang merata bagi Indonesia;

b.Ilmu pengetahuan yang disamping berusaha mendapatkan kebenaran, sekaligus juga mencapai kebahagiaan manusia secara merata;

c.Ilmu pengetahuan yang dalam tingkat pertama hanya mencapai atau mendapatkan atau mendekati kebenaran, akan tetapi pada tingkat selanjutnya ternyata memberikan kebahagiaan yang merata bagi umat manusia.

Nasroen mengemukakan adanya 3 (tiga) macam derajat ilmu pengetahuan, yaitu :

a.Beschrijvend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya hanya menggambarkan saja;

b.Verklarend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya menyelidiki sebab musabab sesuatu atau menjelaskan; dan

c.Waarderend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya memberi nilai dan dapat memberi pedoman menuju sesuatu yang sempurna. Dalam pemberian nilai ini, terbuka kemungkinan ke arah mana sesuatu itu akan dibawa dan diarahkan.

Termasuk golongan manakah atau derajat yang manakah ilmu perbandingan hukum tata negara?

Kranenburg mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara adalah ilmu ilmu pengetahuan yang memberikan penjelasan atau menyelidiki sebab musabab sesuatu (verklarend wetenschap) dan upaya pengembangan ke arah tersebut, sangat memerlukan pula baik secara paralel atau tidak, pengembangan ilmu negara umum dan ajaran hukum umum (de algemene rechtsleer) menjadi suatu syarat mutlak.

Nasroen berpendapat bahwa ilmu perbandingan pemerintahan/negara harus merupakan suatu ilmu pengetahuan yang memberi nilai (waarderend wetenschap), ia harus sanggup menentukan secara obyektif bagaimanakah pemerintah/negara itu seharusnya, antara lain yaitu pemerintah/negara yang memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi masyarakatnya dan inilah yang merupakan ukuran dalam melakukan perbandingan antar negara/pemerintah.

Pendapat Nasroen di atas jika dihubungkan dengan ilmu perbandingan tata negara, maka ilmu ini bertugas untuk mendapatkan negara yang seharusnya atau negara yang dicita-citakan (staats idee), yang akan berlaku dimana-mana.

Bagaimanapun obyektifnya penyelidikan dilakukan, oleh karena terletak pada bidang nilai, pada akhirnya hal itu tidak terlepas dari subyektivitas orang yang mengemukakan negara yang dicita-citakan (idee negara) tersebut, apalagi jika masalah tersebut kita tinjau dari kemungkinan pelaksanaannya yang kemungkinan mustahil terjadi. Oleh karena, misalnya kita akan menjumpai kenyataan misalnya adanya letak geografi yang tidak sama, sifat-sifat bangsa yang beraneka ragam, paham politik yang tidak sama, yang memperkuat pendapat tidak mungkinnya diketemukan idee negara yang benar-benar idee negara.

Sri Soemantri Martosoewigjo tidak sependapat dengan Nasroen yang mengatakan bahwa ilmu perbandingan tata negara adalah ilmu pengetahuan yang memberi nilai, dan Sri Soemantri Martosoewignjo memandang pendapat Kranenburg lebih tepat yaitu yang mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara adalah ilmu pengetahuan yang tugasnya mencari atau menyelidiki sebab musabab atau menjelaskan sesuatu (verklarend wetenschap).

5.STRUKTUR KETATANEGARAAN PADA UMUMNYA

Struktur ketatanegaraan suatu negara, pada umumnya meliputi 2 (dua) hal, yaitu :

a.Supra struktur politik, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat-alat perlengkapan negara, termasuk segala hal yang berhubungan dengannya, antara lain mengenai kedudukannya, kekuasaan dan wewenangnya, tugasnya, pembentukannya serta hubungan antara alat-alat perlengkapan itu satu sama lain, yang pada umumnya diatur dalam kontitusi atau undang-undang dasar suatu negara; dan

b.Infra struktur politik, yaitu struktur politik yang berada di bawah permukaan, yang meliputi 5 (lima) komponen, yaitu komponen partai politik, golongan kepentingan (interest group), alat komunikasi politik, golongan penekan (pressure group) dan tokoh politik (political figure). Oleh karena pemilihan umum menentukan pula kehidupan kepartaian, termasuk sistem kepartaiannya, maka ia masuk kedalam infra struktur politik.

Antara supra struktur politik dengan infra struktur politik terdapat hubungan timbal balik, dalam arti bahwa supra struktur politik dapat mengatur segala sesuatu yang bersangkutan dengan infra struktur politik, sedangkan infra struktur politik dapat mempengaruhi serta menentukan berjalannya supra struktur politik.

Menurut S.L.Witman dan J.J.Wuest, struktur ketatanegaraan itu mempunyai bermacam-macam perlengkapan (the agents and a tool of government), yaitu: the constitution, the electorate, the political parties, the legislature, the executive, the judiciary, the intergovernmental relationships dan the local government.

Menurut S.L.Witman dan J.J. Wuest, sebagai pelaksanaan asas demokrasi pada setiap negara, maka rakyat melalui lembaga pemilihan umum (electorate) memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam konstituante dan lembaga perwakilan rakyat (legislature). Setelah konstuante terbentuk, lalu bersidang untuk menetapkan suatu konstitusi atau undang-undang dasar yang akan mengatur antara lain lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga peradilan dan sebagainya. Partai politik mempunyai peranan penting dalam menyalurkan pendapat rakyat dalam menentukan/memilih wakil-wakil rakyat dalam kedua lembaga tersebut. Konstitusi juga menentukan sistem ketatanegaraan yang dianut dalam suatu negara, baik mengenai sistem pemerintahannya, sistem desentralisasinya, bentuk negaranya dan lain sebagainya. Setelah konstutusi ditetapkan berlaku dalam suatu negara, maka setiap warganegara harus taat pada undang-undang dasarnya.

6.POLA KETATANEGARAAN C.F.STRONG

Pola ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah setiap negara bergerak melalui apa yang dinamakan cycle of revolution, yaitu :

a.setiap negara mula-mula dikuasai oleh hanya seorang saja (the rule of man) yang disebut monarchy;

b.bahwa namun kemudian, ada saatnya dimana orang yang mempunyai sifat-sifat yang baik untuk memegang kekuasaan sudah tidak ada dan akhirnya digantikan oleh orang yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan rakyatnya (tyranny/despotism);

c.selanjutnya si tiran atau despoot tersebut akhirnya menghadapi suatu tantangan serta oposisi dari suatu kelompok orang yang mempunyai sifat-sifat baik dan ingin memperbaiki kehidupan rakyatnya yang disebut aristokrasi;

d.saatnya semangat artistokrasi hilang dan muncullah sekelompok orang yang menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang untuk kepentingan kelompok itu sendiri dan terjadi korupsi dikalangan penguasa tersebut (oligarchy);

e.akhirnya rakyat sangat marah dan menentang dan menggulingkan penguasa korup tadi dan muncullah pemerintahan yang disebut demokrasi, yaitu pemerintahan oleh banyak orang;

f.pada akhirnya cycle of revolution ini dipatahkan dengan tipe pemerintahan yang disebut polity.

Pola ketatanegaraan tersebut digambarkan oleh Plato sebagai berikut :

TYPE OF CONSTITUTION

GOOD OR TRUE FORM

BAD OR PERVERTED FORM

Government of One

Monarchy or Royalty

Tyrani or Despotism

Government of The Few

Aristocracy

Oligarchy

Government of The Many

Polity

Democracy

Menurut C.F. Strong, dalam kondisi saat ini pola ketatanegaraan Aristoteles tersebut dipastikan tidak mempunyai daya tetap. Sehingga ia mencari klasifikasi lain dengan cara mencari ciri atau tanda yang bersamaan pada negara-negara modern, yang pada asasnya mempunyai 3 (tiga) macam kekuasaan: organ kekuasaan legislatif, organ kekuasaan eksekutif dan organ kekuasaan judisiil.

Berdasarkan sugesti dan saran-saran dari Lord Bryce, Edward Jenks dan Sir J.A.Marriott, C.F. Strong mengemukakan pola-pola ketatanegaraannya, yaitu :

a.The nature of the state to which the constitution applies;

b.The nature of the constitution itself;

c.The nature of the legislature;

d.The nature of the executive;

e.The nature of the judiciary.

Menurut C.F.Strong, dilihat dari segi hakekat negara, negara-negara modern dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelas besar, yaitu: negara kesatuan dan negara serikat/federal.

Negara kesatuan adalah suatu negara yang:

a.berada di bawah satu pemerintahan pusat;

b.mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut;

c.Bagian-bagian negara tidak mempunyai kekuasaan asli, melainkan diperoleh dari pemerintah pusat.

Dicey mengatakah bahwa yang dimaksud dengan unitarianism adalah the habitual exercise of supreme legislative authority by one central power. Dengan demikian, walaupun kepada bagian-bagian negara diberikan otonomi yang luas, tapi sama sekali tidak mempunyai wewenang apalagi kekuasaan untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat dapat saja mengatur dan menentukan sampai seberapa luaskah wewenang yang diberikan kepada daerah-daerah otonom.

Jika dilihat dari sudut kedaulatan, maka kedaulatan dalam negara bagian tidak dapat dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, melainkan karena masalah tersebut adalah merupakan hakekat dari negara kesatuan.

Menurut C.F.Strong, terdapat 2 (dua) ciri yang bersifat esensiil yang ada pada suatu negara kesatuan, yaitu:

a.adanya supremasi lembaga perwakilan rakyat pusat (parliament);

b.tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absence of subsidiary sovereign bodies).

Negara serikat/federal menurut C.F.Strong adalah suatu negara dimana terdapat 2 (dua) atau lebih negara atau lebih yang sederajat, bersatu karena tujuan-tujuan tertentu yang sama.

Dicey mengemukakan bahwa “a federal state is a political contrivance intended to reconcile national unity and power with the maintenance of state rights.”

Dalam negara federal, negara-negara yang bergabung atau yang disebut negara bagian mempunyai kedudukan yang kuat, namun sebagian dari kekuasaannya diserahkan kepada negara federal. Kekuasaan yang ada pada negara federal dibatasi oleh kekuasaan yang terdapat pada negara-negara yang bergabung, ini berarti adanya perbedaan antara kekuasaan pemerintahan federal dan pemerintahan negara-negara bagian yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik antara keduanya. Untuk menghindarinya, pembagian kekuasaan antara keduanya harus diatur secara tegas dan jelas yang dituangkan dalam sebuah konstitusi. Sehingga konstitusi dalam suatu negara federal dapat disamakan dengan perjanjian atau bersifat seabgai perjanjian (treaty) yang harus ditaati oleh negara-negara bagian.

Jadi ciri atau sifat negara federal adalah :

a.adanya supremasi konstitusi yang menjadikan federasi itu terwujud;

b.adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian;

c.adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu perselisihan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian.

Tiap-tiap federalisme mempunyai akar masa lalu, yang ditentukan oleh proses sejarah masing-masing bangsa, sehingga yang terjadi adalah timbul bermacam-macam federalisme :

a.confederation/staatenbund, dimana negara federal tidak mempunyai kekuasaan yang sesungguhnya (real power);

b.negara-negara yang bergabung menginginkan adanya kedaulatan nasional, dimana negara negara sebagai keseluruhanlah yang mempunyai kedaulatan;

c.negara-negara dalam negara federal tidak mengingingkan persatuan, namun masing-masing negara bagian tersebut tidak mau bersatu (though the federating units desiring union, they do not desire unity).

Mengenai cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-negara bagian, terdapat 2 (dua) cara yaitu :

a.kekuasaan yang diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara federal ditetapkan secara limitatif dalam konstitusi negara federal. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara federal dibandingkan dengan negara-negara bagian, contoh Kanada yang oleh C.F. Strong disebut sebagai less federal; dan

b.kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian dan kekuasaan lainnya (the reserve power) ada pada negara federal, ditetapkan secara llimitatif dalam konstitusi. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara-negara bagian dibandingkan dengan negara federal dan diharapkan terjadi pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah federal dalam hubungannya dengan kekuasaan negara-negara bagian (to check the power of the federal authority as against the federating units).

Dengan adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian ini mengandung arti bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat masing-masing tidak menjadi lebih tinggi dari yang lain, karena telah diikat oleh konstitusi yang merupakan treaty. Siapa yang menilai adanya pelanggaran terhadap konstitusi? Di Amerika Serikat, perselisihan mengenai hal tersebut diserahkan kepada kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan di Swiss diserahkan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat Federal (The Federal Assembly).

6.1.HAKEKAT KONSTITUSI

Istilah konstitusi pada umumnya dipergunakan paling sedikit dalam 2 (dua) pengertian :

a.menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara; ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang dan ada yang tidak tertulis berupa “usages, understandings, customs atau convention”. Meskipun tidak merupakan undang-undang, bukan berarti kurang efektif dalam mengatur negara;

b.merupakan menggambarkan campuran antara ketentuan tertulis dan tidak tertulis, contoh: Kerajaan Inggris dengan common law system-nya.

Dalam perkembangannya, konstitusi mempunyai 2 (dua) pengertian :

a.dalam pengertian sempit, konstitusi tidak menggambarkan keseluruhan kumpulan peraturan, baik yang tertulis dan yang tidak tertulis (legal dan non-legal), melainkan yang dituangkan dalam suatu dokumen tertentu. Contoh: Amerika Serikat. Menurut Lord Bryce, konstitusi adalah “a frame of political society, organized through and by the law, that is to say, one in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights”

b.dalam pengertian luas, menurut Bolingbroke, adalah assemblage of laws, institutions and customs yang diambil dari certain fixed principles of reason. Dan menurut C.F.Strong, konstitusi dapat diketemukan dalam sebuah dokumen yang dapat diubah sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi dapat pula berupa “a bundle of separate laws” yang diberi otoritas sebagai hukum tata negara.

Menurut Maurice Duverger, tidak jarang terdapat jurang antara apa yang ditetapkan didalamnya dengan kenyataannya/pelaksanaannya, sehingga seringkali konstitusi hanya dijadikan sebagai tirai bagi penguasa. Dalam kaitan inilah, C.F. Strong mengemukakan bahwa untuk disebut sebagai konstitusi, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.how the various agencies are organized;

b.what power is entrusted to those agencies;

c.in what manner such power is to be exercised.

Konstitusi menurut K.C.Wheare dapat digolongkan ke dalam :

a.Written constitution dan unwritten constitution, yang dalam kenyataannya tidak diketemukan lagi dalam negara-negara di dunia saat ini, sehingga pembagian berdasarkan hal ini tidak dapat dipertahankan lagi;

Documentary constitution dan non-documentary constitution. Documentary constitution mengandung arti bahwa dituangkan dalam suatu dokumen tertentu seperti yang dilakukan oleh para pembentuk konstitusi di Amerika Serikat. Non-documentary constitution, konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen tertentu, tetapi dalam banyak bentuk peraturan seperti Kerajaan Inggris. Penggolongan konstitusi ke dalam documentary constitution dan non-documentary constitution, paralel dengan pengertian konstitusi berturut-turut dalam arti sempit dan dalam arti luas;

b.Flexible constitution dan rigid constitution, yang dikemukakan oleh Lord Bryce, yaitu berdasarkan pada cara-cara konstitusi itu diubah atau dengan jalan bagaimanakah suatu konstitusi itu dapat diubah. Digolongkan kedalam flexible constitution, apabila dapat diubah melalui proses yang sama dengan undang-undang, yaitu dengan cara yang tidak terlalu sulit, misalnya dengan sistem suara terbanyak mutlak. Sedangkan digolongkan ke dalam rigid constitution, jika perubahan konstitusi dilakukan melalui cara-cara yang khusus (special process).

Pembagian ke dalam rigid dan flexible constitution ternyata menimbulkan persoalan juga :

a.Sampai seberapa jauhkah suatu konstitusi dapat digolongkan rigid dan lain flexible ?;

b.Manakah yang benar-benar dapat digolongkan ke dalam konstitusi rigid? K.C.Wheare mengemukakan, bahwa hal itu tergantung pada jumlah penghalang dan besar-kecilnya penghalang tersebut. Jika suatu konstitusi berisi penghalang-penghalang formil (legal obstacles) untuk mengubahnya, maka ia adalah rigid constitution (Amerika Serikat, Australia, Denmark, Swiss, Norwegia, Perancis); oleh karena sangat sulit diubah dan memang jarang diubah dan jika sebaliknya maka merupakan flexible constitution (Inggris dan Selandia Baru).

Menurut C.F.Strong, terdapat 4 (empat) perbedaan cara yang dilakukan negara-negara dalam melakukan perubahan terhadap undang-undangnya :

a.By the ordinary, legislature, but under certain restrictions, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) macam jalan: Pertama, Lembaga Perwakilan Rakyat yang ada (the ordinary legislature) dalam sidang-sidangnya harus dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga atau empat perlima dari seluruh anggota (fixed quorum of members), serta keputusan perubahan tersebut sah apabila usul perubahan tersebut disetujui oleh suara terbanyak yang ditentukan (dua pertiga, empat per lima, setengah + 1, dsb), dianut oleh Indonesia; Kedua, sebelum perubahan dilakukan, Lembaga Perwakilan Rakyat dibubarkan, kemudian diadakan pemilihan umum yang baru dan Lembaga Perwakilan Rakyat yang baru inilah yang kemudian akan bertindak sebagai konstituante untuk mengubah konstitusi, dianut oleh Belgia, Norwegia dan Swedia; Ketiga, dalam bicameral system, 2 (dua) Lembaga Perwakilan Rakyat harus melakukan sidang gabungan sebagai suatu badan, yang keputusannya sah apabila disetujui dengan suara terbanyak (bisa mutlak dan bisa yang ditentukan) dari anggota-anggotanya;

b.By the people through a referendum; apabila perubahan konstitusi memerlukan adanya pendapat langsung dari rakyat yang diminta melalui referendum, plebisit atau popular vote (dianut oleh Perancis);

c.By a majority of all units of a federal state; yang berlaku hanya di negara federal, karena pembentukan negara federal tersebut dilakukan oleh negara-negara yang membentuk dan konstitusinya merupakan semacam perjanjian (treaty), sehingga perubahan terhadap konstitusi memerlukan adanya persetujuan negara-negara bagian;

d.By a special convention; mengubah konstitusi mengharuskan dibentukanya suatu badan khusus yang dibentuk untuk itu.

6.2.HAKEKAT KEKUASAAN LEGISLATIF

Sebagai badan yang pada umumnya menetapkan hukum tertulis, legislatif memberi garis pedoman yang harus dilaksanakan oleh badan-badan lain seperti eksekutif dan yudikatif.

Menurut C.F.Strong, pengklasifikasian menjadi negara yang menganut sistem satu kamar dan dua kamar tidak tepat dan tidak riil, karena jika klasifikasi ini kita pergunakan, maka kita akan mengelompokkan negara-negara dunia ini dalam negara-negara yang mempunyai sistem satu kamar dan dua kamar, hal ini akan menyamakan negara atau negara-negara yang tidak melakukan pemilihan anggota badan perwakilan rakyatnya menjadi satu dengan negara atau negara-negara yang memilih anggota badan perwakilan rakyatnya dalam suatu pemilihan umum. Sehingga ia berpendapat akan lebih baik jika pengklasifikasian tersebut didasarkan pada: dengan jalan bagaimanakah badan perwakilan rakyat masing-masing negara itu dibentuk, sehingga pola negara dapat dibagi dalam :

a.Sistem pemilihan dimana anggota-anggota Lower House duduk didalamnya. a.1) Apakah macam pemilihannya (kind of franchise): Pertama, pemilihan dilakukan secara umum (adult suffrage) yaitu hak untuk melakukan pemilihan baik pasif maupun aktif yang diberikan kepada seseorang yang telah mencapai usia tertentu. Kedua, tidak secara umum (manhood suffrage), baik hak pilih pasif maupun aktif hanya diberikan kepada semua laki-laki yang telah mencapai usia tertentu. a.2) persoalan yang berhubungan dengan daerah pemilihan (kind of constituency);

Kita mengenal adanya beberapa sistem pemilihan, yaitu : a) sistem proporsional (the simply majority system with second with second ballot and proportional representation), dan b) sistem distrik (the simple majority single ballot system).

b.The second chamber atau Upper House, yang terbentuk oleh karena beberapa faktor, antara lain adalah sejarah lembaga tersebut dan terbentuk oleh karena bentuk negara federal/serikat.

6.2.HAKEKAT KEKUASAAN EKSEKUTIF

C.F.Strong mengemukakan adalah suatu keharusan bahwa dalam setiap negara yang mengatur asas-asas demokrasi, kepada lembaga eksekutif harus dilakukan pengawasan serta pembatasan, dengan demikian lembaga eksekutif harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat. Ia membagi hakekat kekuasaan eksekutif ini atas dua hal :

a.adanya pertanggungjawaban Badan Eksekutif kepada Badan Legislatif/Parlemen, dimana badan legislatif ini dapat menjatuhkan pihak eksekutif apabila mendapat mosi tidak percaya;

b.Badan eksekutif mendapat pengawasan dalam bentuk lain, misalnya adanya pemilihan presiden secara periodik. Sehingga berdasarkan klasifikasi ini, dapat dibagi negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer (The Parliamentary Executive System) dan presidentiil (The Non-parliamentary Executive System)

6.3.HAKEKAT KEKUASAAN PERADILAN

C.F.Strong mengklasifikasi kekuasaan peradilan atas dasar hubungan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan (the connection of the judiciary with the executive) :

a.Common Law States, in which the executive, being subject to the operation of the rule of law; dan

b.Prerogatives States, in which the executive is protected by a special system of administrative law.

Read More......

MENGAPA ORANG MENTAATI HUKUM (Kritisi Terhadap Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe Ditinjau Dari Sisi Filsafat Hukum)

A.PENDAHULUAN
Pertanyaan tentang mengapa orang mentaati hukum merupakan contoh pertanyaan yang bersifat mendasar yang menjadi salah satu pokok bahasan filsafat hukum, oleh karena jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan pertimbangan nilai-nilai dalam bentuk kaidah hukum yang masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. Seperti kita ketahui, bahwa filsafat hukum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum. Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut.
B.KERANGKA PIKIR
Analisis terhadap pertanyaan mengapa orang mentaati hukum, menggunakan kerangka pikir dari Krabbe dengan teori kedaulatan hukumnya dimana dikatakan bahwa kaidah hukum memperoleh daya mengikatnya karena nilai batinnya atau nilai keadilannya sendiri. Teori kedaulatan hukum mendalilkan bahwa undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Sehingga oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya. Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Teori kedaulatan hukum pada dasarnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Hal yang paling penting bukanlah negara atau pemerintah, melainkan hukum. Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintah, melainkan pemerintahlah yang memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya? Hukum bertitik tolak pada perasaan hukum dan mendapatkan otoritasnya dari kesesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus tetap berfungsi untuk mengendalikan kehendak individu itu sendiri yang berdasarkan pada keyakinan hukum bersama. Dalam tataran empiris, terjadinya kesamaan keyakinan hukum merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup dalam masyarakat menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat, sehingga kesamaan hukum merupakan suatu conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarakat.
Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma :”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia tidak mengakui kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut, sehingga menurutnya undang-undang seperti ini, seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan oleh karenanya harus dicabut oleh pemerintah.
Oleh karenanya menurut Krabbe, keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah hukum, karena kaidah hukum merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat, sehingga berdasarkan hal tersebut masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya.
C.ANALISIS
Jika kita telaah lebih lanjut, maka melalui teorinya itu, Krabbe telah melakukan suatu kesalahan (ad absurdum). Dalam keadaan seperti itu, bagaimana nasib kepastian hukum serta perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasib kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan undang-undang dasar) dalam melakukan tugasnya jika menurut pertimbangan mereka, undang-undang (termasuk undang-undang dasar) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak. Kelemahan teori Krabbe tersebut terjadi oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum. Sehingga jika teori Krabbe dilaksanakan secara konsekuen dalam implementasinya, dipastikan suatu ketika akan terjadi suatu keadaan dimana seluruh hukum akan terhapus dengan alasan sudah tidak sesuai dengan kesadaran hukum mayoritas masyarakat, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.
Jika suatu tatanan masyarakat berkeinginan untuk menjadi lebih daripada hanya sekedar tatanan kekuasaan belaka, maka konsekuensinya ia harus memenuhi hal-hal yaitu merupakan suatu tatanan hukum serta harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil. Didalam kedua hal tersebut, disitulah letaknya otoritas hukum yang menyebabkan masyarakat mentaati hukum. Pada hakekatnya, hukum kebiasaan, yaitu yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat adalah hukum yang dapat memenuhi hal tersebut di atas. Hal ini sesuai pula dengan ucapan Paulus, seorang ahli hukum Romawi, yang mengatakan bahwa penjelmaan hukum terbaik adalah kebiasaan (optima iuris interpres consuetudo).
Sejak awal, hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang menjadi rambu-rambu antara perbuatan yang benar dan yang salah secara sempurna. Hukum yang bekerja terlalu kuat misalnya justru malah menimbulkan ketidakadilan (summum ius summa iniuria). Kenyataan seperti itu memperlihatkan adanya pertentangan antara rambu-rambu yang dibuat oleh hukum di satu pihak dan fleksibilitas yang dituntut oleh hubungan sosial di pihak lain. Gambaran mengenai kehidupan hukum yang seperti itu, akan menjadi jelas jika dalam mengamatinya kita menggunakan kacamata hukum dan masyarakat, yaitu yang melihat kehidupan hukum tersebut tidak hanya sebagai fungsi dari peraturan, tetapi juga dari kebijakan (policy) pelaksanaannya serta tingkah laku masyarakat.
D.KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian-uraian di atas, dan setelah memperkaya (encrichment) dan melakukan elaborasi terhadap pendapat Krabbe tentang teori kedaulatan hukum, maka sangat jelas bahwa orang/masyarakat mentaati hukum oleh karena undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Terjadilah suatu keadaan keseimbangan (equilibrium) implementasi kaidah hukum dalam masyarakat antara konsistensi penegakkan tatanan hukum, pencerminan kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri dan fleksibilitas kaidah hukum dalam melakukan pengaturan hubungan-hubungan sosial.
Diperlukan suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan badan legislatif dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum perundang-undangan harus merupakan hukum kebiasaan yang ditulis dari dan karena hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokok kesadaran rakyat. Keyakinan logis dari suatu bangsa terhadap hukum yang memuat pandangan-pandangan kesusilaan dan pandangan-pandangan hukum rakyat akan menciptakan suatu ketertiban, membawa konsekuensi logis bahwa terhadap undang-undang bersangkutan, yaitu rakyat dengan sangat rela memberikan otoritas yang mengikat, sekalipun juga seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata tidak sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat. Jika suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut—bahwa keyakinan rakyat adalah tatanan hukum—maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah ia sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu hanya sebatas sebagai tatanan otoritas.
*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada Magister Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas Jayabaya, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA
1.Bruggink, J.J.H., terjemahan Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1999
2.d’ Entreves, A.P., terjemahan Wirasutisna Haksan, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta 1963
3.Peters, A.A.G.; Siswosoebroto, Koesriani, Hukum dan Perkembangan Sosial, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1987
4.Rahardjo, Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1977
5.Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Sadino, Oetarid, Noor Komala, Jakarta, 1962
6.Van Kan, J.; Beekhuis, J.H., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Masdoeki, Moh O., Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

Read More......

PEMBERDAYAAN PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DAERAH*)

Oleh : Zuryawan IsvandiarZoebir, Mahasiswa Magister Manajemen Pembangunan Sosial FISIP-UI

Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah merupakan salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, terbukti telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemborosan keuangan negara merupakan implikasi lain deviasi tersebut. Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi proyek-proyek pembangunan di tingkat kabupaten/kota, terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesejahteraan keluarga-keluarga pedesaan (John Clark:1995; John Friedmann:1992). Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa pemihakan dan pemberdayaan masyarakat—dalam keseluruhan rangkaian penyusunan program-program pembangunan, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan ekonomi nasional, sehingga mampu berperan secara nyata dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, keyakinan itu juga perlu terus ditanamkan dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunanan program pada kabupaten/kota untuk selanjutnya ditingkatkan serta dimasyarakatkan, kemudian yang terpenting dan juga menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih, karena dalam pelaksanaannya dalam masyarakat akan banyak mempergunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda (community approach).

Dimasa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam pengimplementasian program-program pembangunan didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaitu NGOs akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya. Bagi aparatur pemerintah, NGOs maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses belajar sosial (John Clark : 1995; John Friedmann : 199), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam pelaksanaan proyek, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena existing condition yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah daerah, peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang sering kita baca pada media-massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses belajar sosial yang seyogyanya terjadi pada implementasi proyek-proyek pembangunan—khususnya di desa-desa—tersebut tidak pernah terjadi, bahkan jika kita pandang secara ekstrim maka yang terjadi adalah hal sebaliknya yaitu dengan apa yang dinamakan dengan upaya pembodohan masyarakat.

Jika kita perhatikan dengan seksama, aturan main proses penyusunan program-program pembangunan yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat (desa). Proses penyusunan program pembangunan, dilakukan melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari tingkat desa yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mengapa mekanisme yang cukup baik tersebut tetap dianggap kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan masyarakat ? Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan tentu akan dialamatkan kepada tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh participant observation atau grounded research oleh aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program-program pembangunan, kepada masyarakat desa dimana proyek-proyek pembangunan tersebut berlokasi. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga ke tingkat grassroots terhadap yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun harus melalui proses-proses yang akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

Lebih jauh, David C. Korten (1990) mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program-program pembangunan (daerah), antara lain yang dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses penyusunan program-program pembangunan, akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk dan membatu, sehingga seperti yang kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada kurangnya intensitas peran serta masyarakat dalam penyusunan program-program pembangunan. Jika kita tidak bercermin, belajar dan mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin, maka setelah mencapai titik jenuh dikuatirkan pada saatnya akan berkembang menjadi gerakan yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah) serta dianggap merupakan pemaksaan program-program pembangunan di tingkat desa.

Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak—jika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi implementasi program-program pembangunan yang dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan belajar sosial.

Proses pemberdayaan masyarakat secara implisit mengandung makna, terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi respon, terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri atau berdalih pada menjaga kewibawaan pemerintah. Dalam kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan tanggapan mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, yaitu dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.

Pada hakikatnya partisipasi sosial mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses pembangunan, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Philip J. Eldridge (1995) “participation means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less influential groups.” Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.

Faktor-faktor yang turut memperburuk citra kinerja penyusunan program-program pembangunan (daerah), juga tidak terlepas dari terjadinya perbedaan pemahaman tentang pembangunan dan partisipasi masyarakat, yang dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Goulet, D.:1989 dalam Yosef P. Widyatmadja :1992): Pertama, dari perspektif pemerintah, partisipasi yang dikehendaki adalah yang lebih menekankan pada pengorbanan dan kontribusi rakyat dari pada hak rakyat untuk ikut menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Kedua, dari perspektif rakyat, partisipasi merupakan praktek dari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat atau empowering people, meliputi praktek keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan yang mungkin dapat menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan.

Ginanjar Kartasasmita (1995) mengemukakan bahwa upaya memberdayakan partisipasi masyarakat dalam penyusunan program-program pembangunan (daerah), harus dilakukan melalui tiga cara :

Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keberdayaan masyarakat adalah keyakinan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi kemandirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan masyarakat berakar kuat pada proses kemandirian tiap individu, yang kemudian meluas ke keluarga, serta kelompok masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan sarana baik fisik (irigasi, jalan dan listrik) maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan) yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat masyarakat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran di pedesaan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat ini, yang penting antara lain adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan, serta akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.

Ketiga, memberdayakan masyarakat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.

Proses Pentahapan Demokrasi

Berdasarkan asumsi bahwa demokrasi ibarat suatu pola dengan titik gravitasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka terdapat tiga proses pentahapan yang perlu dilalui (Onny S.Prijono dan A.M.W. Pranarka : 1996), sebagai berikut : a) tahap inisial : dari pemerintah, oleh pemerintah, dan untuk rakyat; b) tahap partisipatoris : dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, untuk rakyat; dan c) tahap emansipatif : dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan didukung oleh pemerintah bersama masyarakat. Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa kita sudah mencapai tahap kedua, dengan mengecualikan beberapa wilayah yang mungkin sudah memasuki tahap ketiga. Tantangan di masa depan menuntut terjadinya proses akselerasi gerak kita memasuki tahap emansipatif : dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dalam kerangka ini, pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, merupakan langkah yang amat penting bagi gerak akselerasi tahap ketiga dalam pembangunan demokrasi kita. Dalam proses pembangunan manusia yang berkesinambungan, hendaknya tidak hanya difokuskan pada peningkatkan pertumbuhan ekonomi saja, namun pengembangan sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat yang pro-kaum miskin, pro-petani, pro-pekerja, pro-wanita, dan pro-demokrasi juga perlu mendapat perhatian. Pendekatan pemberdayaan baik individu maupun kelompok masyarakat (to empower people) merupakan salah satu prasyarat pembangunan sosial.

Sejalan dengan pendapat tersebut, lebih lanjut Laode M. Kalamuddin (2000), mengemukakan bahwa selama ini kita—bangsa Indonesia telah salah dalam memandang atau dalam mempersepsikan pembangunan selama ini, yaitu karena pembangunan hanya dilihat sebagai output, sebagai hasil-hasil yang nyata dari jerih payah dan usaha yang dijalankan oleh manusia baik secara pribadi, kelompok maupun masyarakat. Melihat hasil-hasil pembangunan dengan kacamata fisikal tersebut, misalnya dengan melihat kenyataan bahwa hasil-hasil pembangunan fisik selama 10 tahun terakhir, telah menyebabkan kita mengabaikan (over looking) akan arti, arah dan tujuan pembangunan itu sendiri. Pola yang ditawarkan dalam membangun perspektif dan orientasi yang baru adalah dengan memfokuskan kepada pembangunan sosial. Sosial dalam pengertian ini lebih dimaksudkan sebagai perspektif global atau holistik yang memfokuskan penekanannya kepada keseluruhan masyarakat manusia (civil society), dimana aspek pembangunan fisik dan ekonomi hanya merupakan salah satu aspek pengamatan terhadap realitas sosial itu sendiri. Tujuan-tujuan strategis seperti ini, akan selalu dapat dikoreksi pada setiap tahap kemajuan atau proses pembangunan atau perubahan sosial yang direncanakan secara terus menerus. Sehingga pembangunan dengan demikian merupakan upaya yang sadar dan terus menerus, dalam perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih maju.

Dari berbagai pendapat para ahli (Onny S. Prijono:1996; A.M.W. Prranarka:1996; Daoed Joesoef: 1996; J. Babari:1996; Vidyandika Moeljarto:1996; Murwatie B. Rahardjo:1996; Sukardi Rinakit:1996; Medelina K. Hendytio:1996), salah satu kunci utama dari keseluruhan upaya yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi permasalahan tersebut adalah bagaimana memperkuat kemampuan masyarakat lapisan bawah, yang masih berada dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan, keterbelakangan, dan membutuhkan pertolongan agar lebih berdaya dalam kemandirian, keswadayaan, partisipasi dan demokratisasi.

Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Di samping itu, juga mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. Masyarakat yang perlu diberdayakan antara lain kaum buruh, petani, nelayan, orang miskin di kota dan di desa, kelompok masyarakat dalam kondisi yang marginal, dan dalam posisi lemah, serta pinggiran. Pemberdayaan rakyat merupakan proses yang tidak dapat dilakukan secara partial, tetapi membutuhkan strategi pendekatan yang menyeluruh. Pemberdayaan bukan hanya meliputi individu dan kelompok masyarakat lapisan bawah (grassroots), pinggiran (peripheris), dan pedesaan (rural communities) sebagai kelompok sasaran, tetapi juga meliputi NGOs sebagai pelaku dan kelompok organisasi juga perlu diberdayakan. Selain masyarakat sebagai kelompok sasarannya, NGOs pun perlu mempertahankan kemandirian dan keswadayaannya, serta diberi kebebasan untuk berkembang, agar memiliki kekuatan sendiri tanpa perlu dibina dan dikontrol oleh pemerintah.

*) Pernah terbit pada salah satu harian lokal Jawa Barat, sekitar Tahun 2000

Read More......