Friday, January 16, 2009

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Suhaidi [2]

Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan perdagangan manusia semakin canggih.Perdagangan orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir (organized), dan lintas negara (transnational) sehingga dapat dikategorikan sebagai transnational organized Crime (TOC).[3] Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus diikuti dengan perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrumen hukum secara khusus yang meliputi aspek pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan reintegrasi sosial.
[1] Disampaikan pada Lokakarya tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Implementasi UU No. 21 Tahun 2007, bertempat di Garuda Plaza Hotel Medan, Kamis, 10 Mei 2007.
[2] Staf pengajar pada Fakultas Hukum USU
[3] Pembentukan UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (21 April 2007),
Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan hal yang harus diantisipasi. Hampir seluruh kasus yang ditemukan dalam perdagangan manusia korbannya adalah perempuan dan anak. Diperkirakan setiap tahunnya 600.000 - 800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi pebatasan-perbatasan internasional. Di Indonesia jumlah anak yang tereksploitasi seksual sebagai dampak perdagangan anak diperkirakan mencapai 40.000 - 70.000 anak. Disamping itu, dalam berbagai studi dan laporan NGO menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber dalam perdagangan orang, disamping juga sebagai transit dan penerima perdagangan orang.[1]Masalah perdagangan orang sangat kompleks, sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban perdagangan harus dilakukan secara terpadu. Adapun beberapa faktor pendorong terjadinya perdagangan orang antara lain meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik, ketidakmampuan sistem pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta Petugas kelurahan dan kecamatan yang membantu pemalsuan KTP.[2]Analisis yuridis terhadap perdagangan orang, dapat dilakukan melalui pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Sistem Hukum Harus Memuat Substantive Law, Legal Structure, dan Legal Culture. Secara substansi hukum masalah perdagangan manusia diatur dalam kerangka hukum internasional dan hukum nasional.B. Aspek Hukum Internasional Tentang Perdagangan OrangMasyarakat internasional terus melakukan usaha dalam perlindungan terhadap martabat manusia melalui instrument internasional. Instrumen international yang dikeluarkan masyarakat internasional pada era sebelum berdiri Perserikatan Bangsa-Bangsa antara lain:-International Agreement the Suppression of White Slave Traffic (1904);-International Convention for the suppression of White Slave Traffic (1910);-Convention on the Suppression of Traffic in Women and Children (1921);-International Convention on the Suppression of Traffic in Women of Full Age (1933).Pada era Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) keempat instrument internasional tersebut diakomodasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Convention for the Suppression of Traffic in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Others (1949). Pada tahun 1979 PBB mengeluarkan Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.Sebelumnya Pada tanggal 10 Desember 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.Selanjutnya pada tanggal 15 November 2000 melalui Resolusi MU PBB No. 55/25 dikeluarkan Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir (The United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (2000) beserta Protocol Agains the Smuggling of Migrants by Land and Sea dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. Konvensi beserta protocol ini mengatur tentang pembentukan struktur inernasional guna memberantas kejahatan lintas batas di sektor produksi dan pergerakan obat-obat terlarang, perdagangan orang dan pengiriman imigran secara tidak sah.[3]Rumusan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak (Trafficking) terdapat dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Woman and Children (2000). Protokol ini dimaksudkan untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang. Di dalam Protokol disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut untuk tujuan eksploitasi.Sehubungan dengan perdagangan anak, yakni mereka yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[4] UN Trafficking Protokol menegaskan bahwa sepanjang berkaitan dengan anak-anak sebagai korban Trafficking, tidak satupun dari cara-cara pemaksaan atau penipuan perlu digunakan untuk pembuktian ada atau tidaknya tindak pidana perdagangan manusia. Dengan demikian Protokol tidak mentolerir anak dalam situasi apapun untuk dijadikan objek eksplotasi.Dalam Convention on the Rights of Child (Konvensi Hak Anak),[5] pada Pasal 2 dan 3 menyebutkan tentang perdagangan anak meliputi:1. Penjualan anak adalah setiap tindakan atau transaksi dimana seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapapun atau kelompok demi keuntungan atau dalam bentuk lain;2. Prostitusi anak yaitu menggunakan seorang anak untuk aktivitas seksual demi keun-tungan dalam bentuk lain.3. Pornografi anak yaitu pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan seksualKonvensi Hak Anak juga menyatakan bahwa setiap negara harus menjamin bahwa standar minimum, perbuatan dan aktivitas berikut ini dianggap sebagai tindak kriminal, baik yang dilakukan di dalam negeri atau antarnegara atau berbasis individu atau terorganisir, dalam hal:1. menawarkan, mengantarkan atau menerima anak dengan berbagai cara untuk tujuan eksploitasi seksual anak, mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan dan keterlibatan anak dalam kerja paksa.2. penculikan anak untuk diadopsi.3. menawarkan, mendapatkan dan menyediakan anak untuk prostitusi.4. memproduksi, mengirimkan, menyebarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjual atau memiliki untuk tujuan pornografi anak, tujuan eksploitasi seksual anak, mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan dan keterlibatan anak dalam kerja paksa.Secara regional pada tahun 2004 negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati suatu tekad untk memerangi segala bentuk perdagangan dan eksploitasi seksual dan komersial terhadap perempuan dan anak melalui penandatanganan yang dilakukan oleh Kepala Pemerintahan masing-masing negara di kota Vientiane ibukota Laos. Sebagai tindak lanjutnya maka pada tahun 2006 di Davao Philipina Menteri-Menteri Pariwisata ASEAN menyepakati untuk secara bersama-ama menyelenggarakan kampanye dan mensosialisasikan tekad ASEAN untuk menghapus perdagangan dan eksploitasi seksual komersial dan anak, terutama atas kasus-kasus yang terjadi pada jalur-jalur dan di lingkungan pariwisata.[6]Dalam mengatasi perdagangan orang juga diperlukan kerjasama secara bilateral antarnegara. Walaupun belum secara khusus dilakukan kerjasama tentang perdagangan orang, Indonesia telah melakukan kerjasama dalam hal penindakan hukum dengan negara-negara lainnya melalui ratifikasi perjanjian bilateral, antara lain melalui:1. UU No. 1 Tahun 1999 tentang pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia tentang Treaty Between RI and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters2. UU No. 1 Tahun 2001 tentang Agreement between the Government of Indonesia and Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive offerders.Indonesia dapat mengambil manfaat dari adanya kerjasama ini jika masalah perdagangan orang melibatkan kedua negara secara bilateral.Sedangkan dalam Perjanjian Ekstradisi, hal ini tergantung kesepakatan kedua negara yang mengadakan perjanjian untuk mencantumkan tentang tindak pidana perdagangan orang apakah dimasukkan dalam naskah perjanjian atau tidak. Perjanjian ekstradisi mengisyaratkan bahwa hanya hal-hal yang termaktub dalam perjanjian itu saja yang dapat dimintakan ekstradisi. Dengan demikian perjanjian ekstradisi secara limitatif menentukan jenis-jenis tindak pidana yang dapat dilakukan ekstradisi.[7]Melihat dampak yang serius dari perdagangan orang secara nasional maupun internasional, sebaiknya didalam klausula perjanjian tentang ekstradisi perlu dicantumkan ketentuan tentang perdagangan orang. Dengan demikian pelaku perdagangan orang dapat dijerat walaupun sudah melarikan diri ke negara lain.C. Ketentuan Nasional Indonesia Tentang Perdagangan OrangA. Era Sebelum keluarnya UU No. 21 Tahun 2007Indonesia secara yuridis telah bertekad dan terus untuk memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, khususnya tentang perdagangan orang. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional, diantaranya:1. UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman 1979.2. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja);3. UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak);Selanjutnya Indonesia juga ikut menandatangani United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi tentang Menentang Organisasi Kajahatan Lintas Batas) dan Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Person, Especially Woman and Children) Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak;Didalam peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya Pasal 297 dan 324 KUHP mengatur tentang larangan perdagangan perempuan dan anak serta larangan perdagangan budak. Namun substansi dalam pasal-pasal dalam KUHP tidak dapat menjangkau suatu tindak pidana perdagangan orang yang bersifat transnasional dan kejahatan terorganisasi. Pasal 297 KUHP mengkhususkan diri pada perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual.[8] Jika korban perdagangan manusia adalah laki-laki dewasa dan korban perdagangan anak bukan untuk eksploitasi seks, seperti dijadikan pembantu rumah tangga, adopsi illegal anak maka pasal tersebut tidak dapat menjangkau kasus tersebut. Sedangkan Pasal 324 KUHP mengkhususkan pada perdagangan budak juga tidak memungkinkan untuk menjerat perdagangan manusia yang terjadi saat ini.UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memang mengisyaratkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan, termasuk kegiatan perdagangan anak.[9] Namun ketentuan ini tidak mengatur sanksi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia.Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar tetap hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.[10]UU No. 23 Tahun 2002 mengkhususkan diri pada perlindungan anak. Kriminalisasi terhadap perdagangan anak termaktub dalam Pasal 83 dan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002.[11] Jika korbannya bukan anak maka pasal-pasal dalam undang-undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.Untuk mengantisipasi perdagangan orang selanjutnyaya Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A),[12] yang dilanjutkan dalam implementasi dari rencana aksi ini dengan membentuk Gugus Tugas Lintas Sektoral. Selanjutnya melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 560/1134/PMD/2003 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia diinstruksikan untuk membentuk Gugus Tugas Daerah yang mempunyai wewenang menangani urusan perempuan dan anak.Khusus bagi Propinsi Sumatera Utara yang merasakan bahwa perdagangan perempuan dan anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar Hak Asasi Manusia. Perdagangan perempuan dan anak juga dirasakan mempunyai jaringan yang luas, baik secara nasional maupun internasional sehingga merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta norma-norma kehidupan yang dilandasi dengan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2004 Propinsi Sumatera Utara mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.Sehubungan dengan perdagangan anak, Pasal 6 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 merumuskan bahwa anak yang akan pindah tempat tinggal ke luar desa/kelurahan wajib meminta surat pindah dari kepala desa atau lurah setempat dan harus didampingi oleh orang tua atau wali.Untuk mengefektipkan dan menjamin terlaksananya pencegahan perdagangan perempuan dan anak, maka perlu dibentuk gugus tugas tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota.[13]Setiap perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan anak, berhak mendapat bantuan hukum dari gugus tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak atas korban perdagangan perempuan dan anak meliputi juga memperoleh rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan, dan berhak diintegrasikan atau dikembalikan kepada lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan bagi yang masih berstatus sekolah.[14]Jika dilihat pada Peraturan perundang-undangan nasional pada era sebelum keluarnya UU No. 21 Tahun 2007, belum sepenuhnya menjangkau masalah perdagangan orang dan belum sesuai dengan perkembangan hukum internasional. Belum ada satupun peraturan perundang-undangan nasional yang memberikan batasan/defenisi tentang perdagangan orang. Hal ini juga menjadi kendala dalam upaya penegakan hukum terhadap perdagangan orang.D. Era Keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan OrangBerangkat dari masalah Perdagangan orang yang semakin meluas, baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir dan tidak terorganisir, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri. Hal ini dirasakan merupakan ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ditambah pula peraturan perundang-undangan selama ini yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberi landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang,[15] maka pada tanggal 19 April 2007 Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.Dengan berlakunya UU N. 21 Tahun 2007 maka Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.[16] Namun segala perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalm proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.[17]Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 memberikan rumusan tentang tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut:(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta) dan paling banyak Rp. 600.000 juta.(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang ter-eksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).Khusus tentang perdagangan anak, Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2007 merumuskan bahwa setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk mengeksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama15 (lima belas tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta) dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Selanjutnya Pasal 6 merumuskn bahwa untuk setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapaun yang mengakibatkan anak tereksploitasi dipidana dengan masa hukuman dan denda yang sama dengan hukuman yang termaktub dalam Pasal 5.UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah disahkan, selanjutnya diperlukan kegiatan sosialisasi dengan unsur-unsur masyarakat, antara lain dengan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), kaukus anak dan NGO anak, kaukus perempuan dan NGO perempuan, sektor pemerintah yang terkait, perguruan tinggi dan masyarakat luas.Melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam Legal System, maka upaya penegakan hukum dapat dilakukan melalui pembenahan struktur hukum (legal structure). Struktur hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pengacara/Konsultan Hukum, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakatan). Untuk membangun sistem penegakan hukum yang baik, peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) yang dibarengi dengan sistem Reward and Punishment, menjadi suatu yang harus mendapat prioritas utama.[18]Legal culture (budaya hukum) berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap hukum. Dengan demikian diperlukan upaya membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap perdagangan orang.Dengan demikian dalam konteks upaya penegakan hukum akhirnya akan sangat tergantung pada kualitas substansi hukum, kinerja struktur hukum, dan kesadaran masyarakat yang merupakan suatu sistem.Akhirnya dengan mengambil teori hukum Roscoe Pound yang menyatakan bahwa law is a tool of social engineering/ social engineering by law. Roscoe Pound ingin memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya yang diinginkan dan apa yang telah diinginkan oleh pengguna hukum sebagai alat rekayasa sosial. UU No. 21 Tahun 2007 telah disahkan, namun sekarang tergantung kepada kita mau diapakan undang-undang ini, karena undang-undang ini hanya sebagai alat.[19]E. PenutupPerdagangan orang merupakan kejahatan serius dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Penegakan hukum saat ini tidak dapat hanya dilakukan secara parsial. Penegakan hukum harus dilakukan secara terpadu, baik antar sektoral dalam satu negara maupun secara internasional. Berkembangnya kasus perdagangan orang era sebelum dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2007 dapat dikarenakan antara lain:1. peraturan perundang-undangan yang khusus belum memadai;2. penegakan hukum yang lemah;3. koordinasi secara nasional maupun internasional belum optimalSebagai bagian dari transnational organized crime masalah perdagangan orang tidak hanya melibatkan lintas sektoral satu negara, baik instansi-instansi pemerntah, LSM, maupun Organisasi Kemasyarakatan terkait lainnya, namun diperlukan peningkatan kerjasama antarnegara, baik secara bilateral, regional, maupun multilateralPerlindungan hukum bagi perdagangan orang mencakup unsur kriminalisasi perbuatan dan perlindungan hak-hak korban dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia. Diharapkan dalam implementasi hukum nasional dan hukum internasional dimana negara memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap perdagangan orang dapat melakukan koordinasi yang lebih baik di tingkat daerah, nasional dan internasional.[1] Lihat Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005, h. 2-3.[2] Pencegahan Trafficking anak apa, mengapa, dan bagaimana, http://news.indosiar.com/news-read.htm sid=47681[3] Supriyadi Widodo Eddyono, op.cit, h. 6[4] Lihat Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.[5] Indonesia telah meratifikas Convention on the Rights of Child dengan Keppres No. 36 Tahun 1990.[6] Press Release Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Mensosialisasikan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual dan Komersial Terhadap anak (RAN PESKA) di Lingkungan Pariwisata, Jakarta, 21 November 2006.[7] Indonesia pada tanggal 27 April 2007 yang lalu sudah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura. Kesepakatan ini akan berlaku jika kedua negara telah meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut. Sebelumnya Indonesia juga sudah menjalin perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain, seperti Malaysia, Philipina, Thailand, dan lain-lain. Lihat.Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Masih Perlu Ratifikasi, (3-04-2007), etai. asp?id=166078&cl=berita>[8] Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun[9] Pasal 65 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[10] Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002[11] Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan pailing sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Sedangkan Pasal 88 menyebutkan bahwa setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).[12] Lihat Hafid Abbas, Ibnu Purma (ed), Landasan Hukum Dan Rencana Aksi Nasional HAM Di Indonesia 2004-2009, Departemen Hukum Dan HAM Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2006, h. 557.[13] Lihat Pasal 11 dan 12 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004.[14] Lihat Pasal 16 dan Pasal 19 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004.[15] Lihat UU No. 21 Tahun 2007, Bagian Menimbang poin c dan poin d[16] Pasal 65 UU No. 21 Tahun 2007.[17] Pasal 64 UU No. 21 Tahun 2007.[18] Benahi Sistem Penegakan Hukum, (1 Mei 2007),[19] Bandingkan dengan teori hukum dari Mochtar Kusumaatmadja dengan Teori Pembangunan Hukum yang mengartikan kata “alat” dengan kata ’’sarana’’.DAFTAR PUSTAKAHafid Abbas, Ibnu Purma (ed), Landasan Hukum Dan Rencana Aksi Nasional HAM Di Indonesia 2004-2009, Departemen Hukum Dan HAM Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2006.Benahi sistem Penegakan Hukum, (1 Mei 2007), http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak /2005/ 0105/31/ teropong/lainnya 03.htmPembentukan UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (21 April 2007),Pencegahan Trafficking anak apa, mengapa, dan bagaimana, (16-04-2007),
http://profsuhaidi.web.id/content/view/9/11/

No comments: