Friday, January 16, 2009

KEADILAN HUKUM

Al Andang L Binawan

"KEADILAN itu didasarkan pada ketentuan perundang-undangan" (Kompas, 2/3/2004). Demikian kata Syafruddin A Tumenggung, mantan bos BPPN, menanggapi pertanyaan sehubungan dengan kurang "pas"-nya pesangon mantan karyawan BPPN dengan rasa keadilan masyarakat, khususnya di tengah kemiskinan rakyat yang akut.
Yang dia tunjuk adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No 150 Tahun 2000. Kalau dicermati, pernyataan ini pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan argumentasi kontroversial yang melandasi dibebaskannya Akbar Tandjung oleh Mahkamah Agung.
Akbar Tandjung dinyatakan tidak bersalah karena "sekadar menjalankan perintah". Befehl ist Befehl. Perintah adalah perintah, dan perintah dijamin hukum, dan hukum diandaikan adil. Benarkah demikian? Inilah masalah yang perlu direfleksikan lebih jauh.
Memang, di satu sisi hukum perlu ditegakkan. Tetapi, di sisi lain "muatan" keadilan dalam hukum perlu dipertanyakan, supaya hukum tidak begitu saja menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak lain. Artikel pendek ini mau mencermati paham keadilan hukum dengan menempatkannya dalam perkembangan kaitan antara keadilan dan hukum di dalam konteks sosiologis.
Keadilan hukum
Dalam sejarah manusia, setidaknya ada tiga pola pandangan tentang kaitan hukum - keadilan. Pola pertama memandang hukum sebagai bahasa yuridis dari suatu konsep keadilan. Diandaikan adanya kaitan langsung antarkeduanya. Dalam pandangan ini, konsep keadilan dipandang tunggal.
Konteks sosiologisnya adalah masyarakat yang masih homogen. Perdebatan dalam proses perumusan hukum hanya dipandang sebagai perdebatan tentang batas. Hal ini tercermin dalam pandangan para pemikir klasik, dari Aristoteles sampai Thomas Aquinas.
Dengan berjalannya waktu, masyarakat makin plural, khususnya secara sosio-politis. Perkembangan ini memunculkan pola kedua, yang melihat hukum sebagai hasil kompromi dari beragam konsep keadilan.
Pola kedua ini melihat perdebatan dalam perumusan hukum adalah upaya mengompromikan konsep-konsep keadilan yang beraneka sebagai isi hukum. Pola kedua ini tampak antara lain dalam pandangan Thomas Hobbes dan pemikir politik mulai abad ke-17. Selain itu, mereka mengandaikan adanya kebebasan yang cukup dan kesederajatan antara pihak-pihak yang berkompromi.
Ketiga, mengakui sifat kompromis hukum, tetapi lebih jauh lagi melihat kesetaraan dan kebebasan dalam berkompromi tidak bisa diandaikan begitu saja. Ini berkait perkembangan masyarakat secara sosio-ekonomis. Terlebih karena perkembangan kapitalisme, dan kini dalam warna neo-liberalisme, muncul gejala penumpukan dan penguasaan modal dalam sekelompok orang.
Perlu diingat, dengan adanya digitalisasi uang sekarang ini, kekuasaan atas uang makin tak terbatas. Keseimbangan posisi-tawar (bargaining position) dalam proses perumusan hukum menjadi timpang. Hukum yang memuat keadilan untuk semua pihak hanya menjadi jargon ideologis semata. Hukum lalu tampak lebih sebagai sebuah pagar perlindungan bagi kepentingan kelompok yang lebih kuat, khususnya yang menguasai uang. Kelompok Marxian biasanya punya pandangan seperti ini.
Dengan memperhatikan adanya tiga pola perwujudan keadilan dalam hukum itu, pandangan tentang keadilan hukum, seperti dinyatakan Syafruddin Tumenggung bisa dievaluasi. Jika kita perhatikan, pernyataan itu baru bisa diterima dengan "lapang dada" oleh mereka yang (masih) mengidealkan pola pertama.
Bahkan, oleh para penganut pola kedua, pandangan keadilan hukum itu masih bisa dipahami, meski mereka sadar bahwa keadilan hukum adalah keadilan minimal. Dalam perkara ini biasanya yang "ceriwis" adalah para penganut pola ketiga, yang pada dasarnya cukup realistis dengan adanya ketidakseimbangan posisi-tawar dalam masyarakat.
Dunia hukum kita
Ke-ceriwis-an para penganut pola ketiga, jika kita lihat apa yang terjadi dalam dunia hukum kita, memang bisa dimaklumi. Secara garis besar saja kita bisa mengamati beberapa gejala dalam produk hukum yang ada dan penerapannya.
Untuk produk hukum, simaklah, misalnya, dilegalkannya praktik outsourcing dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 64-66).
Memang cukup jelas, praktik outsourcing ini dilakukan untuk mengefisiensikan kinerja suatu perusahaan. Tetapi, ketika dilakukan untuk menekan upah buruh demi rampingnya ongkos produksi, amat dikhawatirkan keadilan buruh, yang berarti kesejahteraan hidupnya, semakin diminimalkan. Keadilan bagi buruh atau tenaga kerja akan dirampingkan dalam konsep keadilan perjanjian kerja yang amat tidak seimbang.
Hal ini menjadi makin jelas dalam konteks adanya desakan IMF kepada Indonesia untuk merevisi undang-undang ketenagakerjaan sebelum ini.
Tentu masih ada beberapa contoh lain. Selain itu, dalam penerapannya pun hukum seperti dikendalikan oleh "tangan-tangan kuat" yang kadang secara vulgar ikut bermain.
Ambil contoh penggusuran yang tahun lalu sering dilakukan Pemda DKI. Dengan tameng hukum, mereka menggusur penghuni dan/atau penggarap yang sudah cukup lama menempati suatu lahan.
Perkaranya tentu tidak hanya sah-tidaknya suatu kepemilikan, tetapi proses bagaimana mereka bisa menempati lahan itu hampir tidak dipedulikan. Ketidakadilannya makin kentara saat lahan itu lalu "diserahkan" pada pemodal.
Contoh lain adalah relatif "imun"-nya banyak orang kaya dari jerat hukum. Lihat, bagaimana acara-acara di televisi yang mengupas masalah hukum dan kriminalitas, apa pun namanya, lebih banyak meliput orang-orang kecil yang melanggar hukum. Nyaris belum pernah ada suatu liputan tentang tertangkapnya dan diadilinya koruptor kelas kakap. Timbul kesan, yang menjurus ke stigma sosial, orang-orang miskin lebih berpotensi menjadi pelanggar hukum. Tidak heran bila, misalnya, dalam pemeriksaan ada-tidaknya bom di mobil di mal-mal atau hotel-hotel mobil yang jelek diperiksa lebih jeli daripada mobil yang bagus!
Dua celah harapan
Perlu diingat, hukum adalah sebuah necessary evil untuk pihak-pihak yang terlibat. Tanpa hukum yang terjadi adalah chaos. Di lain pihak, reduksi keadilan menjadi dampak intrinsik dari hukum. Keadilan yang dijamin hukum adalah keadilan minimal.
Meski begitu, tetap menjadi suatu imperatif bagi siapa pun untuk memaksimalkan keadilan yang minimal ini. Untuk itu, perbaikan hukum dan perbaikan penerapannya penting diperhatikan. Dalam konteks inilah di Indonesia sekarang ini ada dua celah harapan.
Celah harapan pertama adalah disahkannya Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Lembaga ini berwenang meninjau kembali suatu undang-undang yang dipandang "merugikan" oleh sekelompok warga republik ini. Dalam salah satu gebrakan awalnya, mahkamah ini memberi sinyal harapan yang baik dengan "keberaniannya" untuk menyatakan pasal 60 huruf g UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum sebagai bertentangan dengan UUD 1945.
Kita tahu, Pasal 60 huruf g itu diskriminatif karena melarang mantan anggota G30S PKI menjadi caleg. Diharapkan, di masa depan, keberanian ini tetap dipertahankan dalam upaya memaksimalkan keadilan dalam tataran hukum.
Kemudian, celah kedua berkaitan dengan penerapan. Dalam hal ini, salah satu kunci pokoknya adalah hakim sebagai pemutus perkara, yang berarti juga aktor yang menerapkan hukum itu. Sehubungan dengan itu, tanpa menafikan peran aktor penegak hukum yang lain, keluarnya UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan disusul Keppres No 21/2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung bisa menjadi sedikit celah harapan untuk perbaikan kinerja pengadilan untuk memaksimalkan keadilan tadi.
Dengan UU dan keppres itu, kebebasan hakim dari campur tangan eksekutif, diandaikan lebih terjamin. Hanya saja, mengingat kekuasaan itu kini tidak hanya di tangan eksekutif, tetapi lebih pada para penguasa ekonomi, dapatkan para hakim akan sungguh punya keleluasaan? Tidak gampang, pasti, tetapi semoga celah ini dapat dimanfaatkan oleh para hakim untuk memaksimalkan keadilan yang (makin) minim itu!
Al Andang L Binawan Pengajar STF Driyarkara Jakarta
Jumat, 16 April 2004
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/16/opini/972368.htm

No comments: