Thursday, April 17, 2008

PERILAKU NAKAL REMAJA DALAM BENTUK PERKELAHIAN MASSAL PELAJAR ANTAR SEKOLAH

FAKTA DAN DATA


Di wilayah DKI Jakarta dalam beberapa tahun ini ditandai oleh munculnya peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah, khususnya diantara pelajar-pelajar-pelajar SLTA. Perkelahian pelajar secara individual barangkali tidaklah terlalu merisaukan masyarakat—terutama bagi aparat penegak hukum—apabila perkelahian tersebut tidak menyebabkan cederanya salah satu pihak yang bertikai. Akan tetapi perkelahian secara massal, apalagi yang dilakukan oleh pelajar antar sekolah dan yang telah menimbulkan berbagai kerugian dalam bentuk kerusakan harta benda fasilitas umum seperti bus kota dan adanya korban yang cedera dan tewas, telah menimbulkan keprihatinan masyarakat, aparat penegak hukum maupun pranata-pranata pengendalian sosial lainnya seperti sekolah dan para orang tua.


Harian Kompas (2 Nopember 1992, 14 Februari 1996, dan 13 Mei 1996) melaporkan bahwa menurut catatan kepolisian, jumlah peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah di DKI Jakarta dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 1989 terjadi 80 peristiwa perkelahian massal pelajar dan pada tahun 1991 sudah menjadi sebanyak 260 peristiwa. Jumlah pelajar yang ditangkap karena terlibat dalam peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah pada tahun 1989 sebanyak 193 orang, dan pada tahun 1995 telah menjadi 1.245 orang. Demikian juga jumlah pelajar yang ditahan karena terlibat peristiwa tersebut terjadi peningkatan yang pada tahun 1989 hanya sebanyak 82 orang, pada tahun 1995 menjadi 1.236 orang. Meskipun data tersebut menunjukkan peningkatan frekuensi terjadinya perkelahian massal pelajar antar sekolah, namun jumlah pelajar yang diajukan ke pengadilan karena didakwa terlibat dalam peristiwa-peristiwa tersebut tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti, bahkan jumlahnya relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah pelajar yang ditangkap maupun ditahan, yaitu sekitar 50 orang saja.


Jumlah pelajar yang dilaporkan tewas akibat dari peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah terlihat adanya peningkatan. Pada tahun 1989 tercatat 6 orang tewas, pada tahun 1995 menjadi 13 orang. Jika hanya dilihat dari angka tersebut memang terjadi peningkatan, namun untuk melihatnya secara lebih proporsional harus dibandingkan dengan indikator lain. Pada tahun 1989 ketika tercatat 6 orang tewas, jumlah peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah sebanyak 80 peristiwa, atau dengan kata lain setiap 13, 33 peristiwa perkelahian massal menghasilkan satu korban jiwa. Pada tahun 1995 tercatat 194 peristiwa dengan 13 orang korban jiwa, atau setiap 14, 92 peristiwa mengakibatkan satu korban jiwa. Dengan membandingkan antara korban jiwa dengan banyaknya peristiwa perkelahian tersebut menghasilkan pemahaman baru bahwa sebetulnya tidak terjadi peningkatan proporsi korban jiwa bila dibandingkan dengan banyaknya peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah.

Pada tahun 1989 bus kota yang rusak sebagai akibat peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah tercatat sebanyak 116 kejadian, dan pada tahun 1994 menjadi 1.158 kejadian dan tahun berikutnya turun sebanyak 862 kejadian. Kerusakan bus-bus kota tersebut terjadi bukan karena akibat sasaran langsung dalam peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah, akan tetapi disebabkan bentuk perkelahian massal pada umumnya pihak-pihak yang bermusuhan saling melempari batu, dan salah satu pihak dalam perkelahian massal tersebut sedang berada dalam sebuah bus kota.


KERANGKA PIKIR


Gambaran umum peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah tersebut di atas, cenderung membawa kita untuk mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa perkelahian massal antar pelajar antar sekolah—dengan meminjam pandangan Durkheim, tidak dapat lagi dapat disebut sebagai gejala yang normal. Sebab, berbagai usaha pengendalian sosial yang dilakukan tidak menunjukkan hasil, bahkan intensitas peristiwa dan tingkat kerugian materi maupun korban jiwa semakin meningkat.


Apakah peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah sudah merupakan gejala sosial yang tidak normal? Yang tampak jelas adalah, pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang gejala perkelahian massal pelajar antar sekolah belumlah memadai. Sebab, dari peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah yang acapkali muncul tiap tahun dan sepanjang tahun, menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kondisi yang relatif menetap yang memungkinkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, dan bukan semata-mata adanya faktor kelainan atau kekurangan yang ada pada diri pelajar yang terlibat di dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Kondisi-kondisi tersebut adalah hal-hal yang berhubungan dengan pola hubungan yang tidak serasi antar pelajar sebagai anak dalam suatu keluarga dengan para orang tuanya, dan pola hubungan sosial yang tidak serasi antar pelajar dengan para guru dan sekolahnya.


Keterlibatan pelajar dalam perkelahian massal pelajar antar sekolah di kota-kota besar menurut Bradac dan Bower (dalam Kusumah, 1982) merupakan gejala yang sangat kompleks, merupakan proses sosial dan hasil dari suatu interaksi antara suatu bagian-bagian yang ada di masyarakat (multiple factors), berkaitan dengan berbagai variabel atau faktor, antara lain seperti : struktur sosial, perkembangan kota (infra dan supra struktur), pola sosialisasi keluarga, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan nasional, lembaga peer group (teman bermain), proses alienasi dengan lingkungannya, dll.


Perkelahian massal pelajar antar sekolah secara umum dikategorikan sebagai kenakalan remaja, merupakan fakta sosial (social fact) yang mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan karena sudah menjadi masalah sosial yang tidak bisa diabaikan. Bahkan sebagian ahli mengatakan bahwa kenakalan remaja merupakan suatu gejala sosial yang wajar, sebagai akibat dari adanya interrelasi antara berbagai gejala sosial yang ada di masyarakat. Karena merupakan gejala sosial yang menarik mendapatkan perhatian masyarakat, gejala ini pun mendapatkan perhatian pengelola media untuk menjadi komoditas berita atau program hiburan agar menjadi laku di pasaran (khalayak).


Kenakalan sebagai suatu realitas sosial memang merupakan gejala yang kompleks dan memiliki berbagai bentuk yang unik. Canavan (dalam Kusumah, 1982) menafsirkan kenakalan remaja sebagai perilaku yang dapat mengundang bertindaknya alat-alat penegak hukum, oleh karena perilaku tersebut mengganggu hak-hak orang lain termasuk dapat membahayakan remaja sendiri, orang-orang lain serta masyarakat umum.


Taraf dan bentuk kenakalan remaja di dalam suatu masyarakat tentu berbeda-beda, dan dengan begitu reaksi sosial terhadap berbagai bentuk kenakalan akan berbeda-beda pula. Kenakalan remaja yang melibatkan penggunaan kekerasan dan pada umumnya memperoleh reaksi sosial yang lebih keras dari masyarakat maupun dari alat penegak hukum.


Levy (dalam Kusumah, 1982) mengatakan bahwa terdapat tiga golongan kenakalan agresif, yaitu : Pertama, perilaku nakal merupakan akibat situasi lingkungan dimana tata kelakuan kelompok tidak memberikan perangsang bagi perilaku yang selaras dengan standar lingkungan sosial. Kedua, kenakalan berasal dari komunikasi orang tua yang tidak memuaskan, tanpa memandang status ekonomi keluarga tersebut. Dengan demikian, pembinaan terhadap kelompok anak nakal ini bukan berkaitan dengan jalan memanipulasi lingkungan sosial di luar keluarga, melainkan harus langsung terhadap orang tua mereka untuk menolong mereka memahami arti perilaku sosial bagi anak-anak. Dengan demikian orang tua dapat memahami bahwa akibat perilakunya dapat menjadi faktor pencetus bagi perilaku anak-anaknya yang tidak dikehendaki. Ketiga, kenakalan yang bersumber dari kondisi anak-anak itu sendiri. Anak-anak itu memang dianggap “sakit”, sehingga membutuhkan penanganan khusus atau mungkin diisolasi dari lingkungannya.

Jenkins (dalam Kusumah, 1982) menggolongkan kenakalan ke dalam dua bentuk pola-pola reaksi mereka, yaitu : Pertama, kenakalan adaptif, yaitu kenakalan yang perilakunya mempunyai tujuan (goal oriented behavior) tertentu. Kenakalan adaptif umumnya mempunyai tubuh yang lebih berotot, lebih berani, dan lebih bersifat memberontak terhadap otoritas orang dewasa dibandingkan dengan remaja yang taat pada hukum. Jenis kenakalan ini berasal dari rumah tangga yang “disorganized” dengan pengawasan orang tua yang kurang, disebabkan karena umumnya tinggal di suatu lingkungan ketetanggaan yang tinggi angka kenakalannya, maka setiap hari dihadapkan pada contoh-contoh perilaku nakal dan menambah kecenderungannya untuk mengadaptasikan diri pada perilaku tersebut. Kedua, kenakalan mal-adaptif, yaitu yang mempunyai sifat permusuhan, dendam, eksplosif, kejam, sombong, mementingkan diri sendiri, destruktif dan cabul, tidak belajar dari pengalaman serta mempunyai sedikit sekali perasaan bersalah.

Erikson (1981) mengaitkan perilaku nakal di kalangan remaja dengan karakteristik remaja itu sendiri, yaitu : (1) predisposisi di kalangan remaja yang cenderung memiliki kepribadian yang labil, kurang memiliki pandangan ke depan (foresight), mengalami kebingungan dalam melakukan pemilihan nilai moral karena mereka acapkali mengidentifikasi diri dengan kelompok bermain dibandingkan dengan keluarga; (2) kondisi sosial yang memantapkan kecenderungan nakal; (3) adanya peristiwa yang memicu kenakalan.

ANALISIS

Jika kita perhatikan dari fakta, data dan kerangka pikir mengenai perkelahian massal pelajar antar sekolah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang menyebabkan terjadinya perilaku nakal di kalangan remaja tersebut adalah ternyata tidak semata-mata berasal dari dalam (internal) remaja itu sendiri, tetapi bahkan yang paling dominan ternyata didapat dari faktor atau variabel yang didapat dari luar (eksternal) diri remaja yang mempengaruhi perilaku nakalnya tersebut. Jadi merupakan gejala yang sangat kompleks, merupakan proses sosial dan hasil dari suatu interaksi antara suatu bagian-bagian yang ada di masyarakat, berkaitan dengan berbagai variabel atau faktor (multiple factors), antara lain seperti : struktur sosial, perkembangan kota (infra dan supra struktur), pola sosialisasi keluarga, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan nasional, lembaga peer group (teman bermain), proses alienasi dengan lingkungannya, dll.

Sehingga dalam hal ini kita tidak dapat melakukan penilaian secara sepihak, bahwa keadaan yang tidak normal yang terdapat pada remaja tersebut semata-mata adalah karena pembawaannya, padahal penyebab terjadinya perilaku nakal remaja relatif banyak dan dapat dikategorikan sebagai berikut :

Pertama, perilaku nakal merupakan akibat situasi lingkungan dimana tata kelakuan kelompok tidak memberikan perangsang bagi perilaku yang selaras dengan standar lingkungan sosial. Misalnya, anak-anak yang berada dalam lingkungan wilayah miskin (slum areas) mendapatkan pengaruh kelompok geng nakal yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok anak nakal yang berada di wilayah elit.

Kedua, kenakalan berasal dari komunikasi orang tua yang tidak memuaskan, tanpa memandang status ekonomi keluarga tersebut. Dengan demikian, pembinaan terhadap kelompok anak nakal ini bukan berkaitan dengan jalan memanipulasi lingkungan sosial di luar keluarga, melainkan harus langsung terhadap orang tua mereka untuk menolong mereka memahami arti perilaku sosial bagi anak-anak. Dengan demikian orang tua dapat memahami bahwa akibat perilakunya dapat menjadi faktor pencetus bagi perilaku anak-anaknya yang tidak dikehendaki.

Ketiga, kenakalan yang bersumber dari kondisi anak-anak itu sendiri. Anak-anak itu memang dianggap “sakit”, sehingga membutuhkan penanganan khusus atau mungkin diisolasi dari lingkungannya.

Sehingga, dari peristiwa-peristiwa perkelahian massal pelajar antar sekolah yang acapkali muncul tiap tahun dan sepanjang tahun, memerlukan suatu pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang gejala perkelahian massal pelajar antar sekolah. Oleh karena dalam perkelahian massal pelajar antar sekolah tersebut menunjukkan, bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kondisi yang relatif menetap yang memungkinkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, dan bukan semata-mata adanya faktor kelainan atau kekurangan yang ada pada diri pelajar yang terlibat di dalam peristiwa-peristiwa tersebut.

Kondisi-kondisi tersebut adalah hal-hal yang berhubungan dengan pola hubungan yang tidak serasi antar pelajar sebagai anak dalam suatu keluarga dengan para orang tuanya, dan pola hubungan sosial yang tidak serasi antar pelajar dengan para guru dan sekolahnya.

Sedangkan kenakalan yang merupakan karakteristik dari remaja itu sendiri, sesungguhnya merupakan posisi yang tidak dominan yang sebenarnya pula merupakan refleksi baik secara langsung atau pun tidak langsung berasal dari faktor-faktor dominan yang berada di luar dirinya. Karakteristik remaja yang bisa membawa pada perilaku nakal atau menyimpang antara lain karena beberapa alasan berikut ini :

Pertama, remaja masih dalam tahap pencarian identitas diri. Masa pencarian identitas diri merupakan masa krisis di saat remaja. Tentunya dalam mencari dan mencapai identitas diri, remaja merasakan kebingungan nilai-nilai mana yang harus dipilih. Dalam masa pencarian identitas diri ini, para remaja acap memilih nilai yang bertentangan dengan nilai sosial yang dominan. Dengan kata lain, para remaja lebih menentukan identitas dirinya dengan sub budaya nakal (sub culture delinquent) dalam kelompok bermainnya.

Selanjutnya, perilaku menyimpang (nakal) di kalangan remaja dapat muncul ketika mendapat rintangan. Selain itu, remaja juga selalu ingin tahu terhadap suatu hal yang baru, sehingga peran-peran sosial yang bersifat antagonis—yang melanggar norma—juga dilakukan oleh para remaja karena mereka ingin merasakan bagaimana peran sosial itu dilakukan, seperti mereka terlibat dalam kegiatan perkelahian massal pelajar antar sekolah, konsumsi dan peredaran obat bius, ekstasi, minuman keras, hubungan seksual di luar nikah, dan lain-lain. Namun, peran sosial ini pada akhirnya sulit dilepaskan karena mereka sudah mengalami kebiasaan, kecanduan, dan sulit melepaskan diri dari rasa solidaritas kepada teman.


Kedua, pencarian kelompok yang memiliki nasib, hobi, dan orientasi yang sama. Pemilihan kelompok ini bukan berarti suatu hal yang negatif, karena bagaimanapun orang sebagai mahluk sosial selalu ingin berkelompok dan berinteraksi. Namun, remaja yang ingin mencari teman yang memiliki nasib, hobi dan orientasi yang sama terjebak dalam kelompok teman bermain yang memiliki kecenderungan sub budaya menyimpang (deviant sub-culture) sebagai suatu bentuk pencarian kebutuhan materi dan moril—karena keluarganya tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kelompok bermain ini kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi dalam keluarga merasa terpenuhi.


SOLUSI


Solusi yang dapat diketengahkan disini adalah solusi—yang mem-fait accompli kita semua, yaitu yang menghadapkan kita pada suatu keharusan apabila kita menginginkan tereliminasinya secara signifikan persoalan perkelahian massal pelajar antar sekolah—seperti yang dikemukakan oleh Homan (dalam Kusumah, 1981), yaitu ditumbuhkembangkannya pola-pola hubungan sosial intrinsik dan ekstrinsik antara remaja yang berperilaku nakal dengan institusi atau pranata sosial dimana remaja tersebut berinteraksi sehari-hari—seperti keluarga, sekolah dan lingkungannya bermain, di tingkat lokal maupun nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pola hubungan sosial intrinsik yaitu hubungan sosial yang dilandasi oleh kasih sayang, cinta, atau karena saling memahami proses subyektif dari pihak-pihak yang berinteraksi serta pola hubungan ekstrinsik, yaitu proses interaksi yang bukan dipuaskan oleh karena kebutuhan kasih sayang.


Tentu yang pertama-tama harus dilakukan disini adalah, terjadinya implementasi hubungan sosial intrinsik dan ekstrinsik secara intensif dalam keluarga remaja yang terlibat dalam perilaku nakal perkelahian massal pelajar antar sekolah ini, dan harus dihindari hubungan sosial yang terbatas pada hanya hubungan ekstrinsik yaitu di luar proses interaksi yang terjadi misalnya hubungan antara orang tua dan anak hanya sebatas uang jajan, bukan proses interaksi yang dipuaskan karena kebutuhan kasih sayang.


Oleh karena itu, jika keluarga yang mampu melakukan kedua hubungan sosial, yaitu hubungan sosial ekstrinsik dan hubungan intrinsik, maka keluarga tersebut akan mampu berkesinambungan. Sebaliknya, jika keluarga hanya memberikan salah satu pemenuhan kebutuhan tersebut, terutama hanya menekankan pada hubungan ekstrinsik saja, maka keluarga tersebut akan mengalami kegoncangan (disintegrasi).

Sama halnya yang dapat dilakukan pada tataran institusi lain anak tersebut berinteraksi, yaitu diantara guru dan murid, antara remaja tersebut dengan teman bermain baik disekolah, dirumah atau dimanapun saja remaja rentan berperilaku nakal tersebut berinteraksi.

Hubungan sosial intrinsik dan ekstrinsik terutama harus ditumbuhkembangkan di lingkungan remaja tersebut bergaul, karena perasaan senasib membuat remaja merasa dekat satu sama lain dan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman sebaya. Dengan demikian, pengaruh kelompok bermain akan lebih banyak dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Jika diamati kehidupan sehari-hari para remaja, seringkali tindakan remaja yang mengarah kepada bentuk perilaku kekerasan karena untuk memenuhi tuntutan, keinginan, dan norma yang ada dalam kelompok. Hal itu dilakukan remaja karena dirinya ingin menyatu dengan kelompok, maka identitas pribadinya terpendam dan muncullan identitas kelompok (group identity).

Oleh karena perkelahian massal pelajar antar sekolah merupakan gejala yang sangat kompleks, merupakan proses sosial dan hasil dari suatu interaksi antara suatu bagian-bagian yang ada di masyarakat (multiple factors), berkaitan dengan berbagai variabel atau faktor, maka pemecahan masalah selanjutnya harus dilakukan secara komprehensif, tidak sepenggal-sepenggal dengan terlebih dahulu dicarikan akar permasalahan sebenarnya yang meliputi perkelahian massal pelajar antar sekolah ini, atau dengan kata lain kita harus mempunyai pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang gejala perkelahian massal pelajar antar sekolah tersebut, yaitu yang meliputi : struktur sosial, perkembangan kota (infra dan supra struktur), pola sosialisasi keluarga, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan di sekolah, sistem pendidikan nasional, lembaga peer group (teman bermain), proses alienasi dengan lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

1.Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Armico, 1983; 2.Dixon, Thomas Homer, Urban Growth and Violence: Will The Future Resemble The Past?, Occasional Paper, University Toronto, June 1995; 3.Erikson, K.T., Notes on The Sociology of Deviance. Social Problems, 1981; 4.Kusumah, Mulyana W., Analisa Kriminologi tentang Kejahatan Kekerasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982; 5.Kartono, Kartini, Patologi 2, Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali Pers, 1992; 6.Kompas, Harian, 8 Nopember 1993, 14 April 1993, 14 Pebruari 1996, 13 Mei 1996, 2 April 1997 dan 16 April 1997; 7.Laboratorium Kriminologi UI dan Subbag Dastik Puskodalops Polda Metro Jaya, Data Kriminalitas Selektif (Crime Index), Tahun 1995 s.d. 1999; 8.Yudhoyono, Susilo Bambang, Perkelahian Pelajar, Kepedulian dan tanggung jawab, Kompas, 1996

*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada Magister Manajemen Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

No comments: