Friday, October 31, 2008

BANTUAN HUKUM: ARTI DAN PERANANNYA

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304

Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Hukum dan Pembangunan yang diberikan oleh Mulyana W. Kusumah

Bagi negara berkembang, konsepsi dan peranan dari suatu lembaga bantuan hukum hampir dapat dipastikan tidak sama dengan konsepsi dan peranan lembaga bantuan hukum di negara-negara maju, tempat lembaga ini lahir dan dibesarkan. Juga kadar campur tangan dari pemerintah terhadap eksistensi lembaga ini akan jelas sekali perbedaannya, suatu hal yang erat hubungannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan masyarakat setempat. Jika hal ini benar, maka timbul pertanyaan : sampai sejauh mana sistem kekuasaan di negara berkembang memungkinkan berkembangnya ide bantuan hukum ? Sampai dimana masyarakat setempat membutuhkan bantuan hukum ? Dalam tulisan ini, kami akan memulai pembahasan dari pertanyaan yang terakhir sepanjang menyangkut peranan bantuan hukum dan pada akhirnya menuju kepada pertanyaan pertama.

Persoalannya memang begitu kompleks, menyangkut banyak aspek. Tidak saja dalam proses peradilan, tetapi justru suatu proses pendidikan hukum (legal education): bagaimana menumbuhkan suatu kesadaran hukum (legal consciousness) agar masyarakat mengerti akah hak-hak dan kewajibannya dalam pergaulan hukum masyarakat. Proses pendidikan hukum ini bisa diartikan sebagai usaha untuk mengintroduksi nilai-nilai baru yang berguna tidak saja secara hukum, tetapi menyangkut banyak segi lain, lebih-lebih aspek ekonomis, terutama jika kita hubungkan dengan kenyataan-kenyataan sosial, bahwa kita memang bercita-cita menuju kearah pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pembagian pendapatan yang proporsional merata sesuai dengan sila keadilan sosial.

Jika dikatakan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai kenaikan Produk Nasional Bruto (GNP) dalam jangka pendek dan seterusnya menuju tercapainya keadilan sosial sebagai tujuan akhir, maka selama proses pembangunan tersebut berlangsung akan selalu terjadi akibat-akibat sampingan. Perencanaan kota misalnya, akan menimbulkan pergeseran-pergeseran hak milik atas tanah, yang tidak selalu dapat dihayati ditinjau dari segi keadilan maupun menurut pengertian “pembangunan” dalam arti luas. Efisiensi, efektifitas dan penghematan yang dilakukan sebagai usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, akan selalu dibarengi konflik-konflik, misalnya persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh rasionalisasi perusahaan, PHK atau pengrumahan para karyawan dan lain sebagainya. Tujuan mengejar hasil pendapatan yang setinggi-tingginya dengan pengeluaran yang serendah-rendahnya dari pihak perusahaan tertentu, dapat menimbulkan soal-soal lain dalam kaitannya dengan masalah-masalah hubungan kerja, upah buruh dan jaminan sosial, atas kerugian di pihak mereka yang terkena tindakan-tindakan sosial tersebut. Paling tidak, kasus-kasus di atas menimbulkan pertanyaan lain : apakah sebenarnya tujuan pembangunan ? Jika akibat-akibat sampingan dari pembangunan yang menimbulkan konflik dari ketegangan tersebut tidak mendapat salurah pemecahannya, maka cepat atau lambat akan timbul frustrasi, yang bila memuncak akan menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Dalam hal ini-palingtidak untuk sementara-tampaknya peranan lembaga bantuan hukum telah menampung salah satu usaha untuk menekan seminimal mungkin akibat-akibat sampingan dari usaha yang keras untuk menaikkan pendapatan nasional tadi. Dengan demikian, “keadilan” tidak hanya dapat dikecap oleh mereka yang kebetulan mempunyai uang dan kekuasaan-seperti yang selama ini dikesankan-tetapi juga mereka yang tidak mampu atau kebetulan tidak punya apa-apa selain sekelumit hak-hak yang adanya justru sering tidak pula disadari. Bukankah semua orang sama dihadapan hukum dan kekuasaan ? Kriteria utama bahwa hanya orang yang tidak mampu dalam arti materiil saja yang dapat memperoleh bantuan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sedikit banyak telah membantu, bahkan mendorong tegaknya prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) tersebut. Dengan demikian maka dalam usaha yang dilancarkan dewasa ini untuk mencapai kemakmuran, diharapkan agar segi keadilan juga mendapatkan tempatnya yang terhormat. Usaha mengejar kemakmuran sambil membelakangi keadilan, pasti akan makin memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Usaha lembaga bantuan hukum bisa dilihat sebagai usaha untuk mensejajarkan keadilan dan kemakmuran dan bergerak maju, berjalan bersama-sama menuju masyarakat adil dan makmur.

Walaupun tampaknya sukar untuk menarik kesimpulan usaha lembaga bantuan hukum telah berhasil menetralisasi akibat-akibat lain dari pembangunan itu, namun kasus-kasus yang ditangani LBH yang menyangkut perkara-perkara penggusuran di Jakarta dalam rangka perencanaan kota, rasionalisasi perusahaan atau pengrumahan terhadap sejumlah karyawan oleh perusahaan atau departemen tertentu sedikitnya bisa disebut sebagai contoh bantuan hukum dari segi lain itu.

Kehadiran lembaga bantuan hukum di negara sedang berkembang tidak saja diterima secara hukum tetapi dapat terjadi diakui pula secara politik, dimana peranan politiknya bisa amat menonjol terutama dalam menampung keluhan dan aspirasi dari arus bawah masyarakat. Dengan begitu ia suatu lembaga yang dekat dengan masyarakat luas lapisan bawah yang selama ini menimbulkan kesan tersisih, jauh dari tangan-tangan keadilan. Masalah-masalah hubungan kerja, upah yang memadai, jaminan sosial dan hak milik tidak semata-mata merupakan masalah ekonomi tetapi sudah merupakan keputusan-keputusan di bidang hukum.

Peranan lembaga bantuan hukum di Indonesia saat ini diperingan dengan adanya lembaga Ombudsman, yang merupakan lembaga resmi pemerintah yang menerima pengaduan-pengaduan mengenai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh badan atau pejabat-pejabat eksekutif pemerintahan. Jika pengaduan yang dimaksud benar, maka Ombudsman membuat rekomendasi untuk menyelesaikan pengaduan tersebut. Lembagai ini berasal dari Swedia, tercipta pada tahun 1809, kemudian berkembang di berbagai negara dalam berbagai bentuk dan variasi, dibawah sistem hukum yang berbeda-beda.

Dinegara-negara sedang berkembang, keterlibatan pemerintah yang terlalu jauh kedalam segala sektor kehidupan, acapkali menimbulkan ekses-ekses yang membawa kecemasan-kecemasan baru, sehingga apabila dihubungkan dengan struktur kekuasaan yang ada, maka pertanyaan “siapa yang memerintah siapa” atau “ siapa yang mengawasi siapa” menjadi amat relevan.

Dalam prakteknya, lembaga bantuan hukum tidak saja berurusan dengan soal-soal dimeja pengadilan, tetapi juga tidak dapat menghindarkan diri untuk menangani pula masalah-masalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dari badan atau pejabat-pejabat pemerintah sendiri, bahkan juga oleh yang lazim disebut sebagai “oknum” alat negara. Sebagai contoh, sering terjadi pejabat menggunakan jabatan resmi dari lembaganya, hanya untuk menyelesaikan soal-soal pribadi. Sebagian besar anggota masyarakat-terutama di masa rezim orde baru-jika ia diharuskan datang ke sebuah kantor alat negara-polisi atau militer-dengan surat panggilan resmi, apalagi tanpa menyebut dalam perkara apa dan untuk apa ia dipanggil. Pernah terjadi, panggilan semacam itu hanya untuk memaksakan suatu penyelesaian utang-piutang pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan badan resmi tersebut. Tidak jarang pula pejabat-pejabat melampaui wewenangnya dalam menjalankan tindakan-tindakan administratif.

Contoh lain adalah pemecatan-pemecatan yang dilakukan terhadap para pejabat tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan. Ombudsman, seharusnya bertugas menerima pengaduan dan membuat rekomendasi untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas. Hal lain yang menyebabkan berperannya lembaga bantuan hukum sebagai semacam Ombudsman, adalah karena kurang optimalnya peran hukum tata usaha negara. Bilamana hukum tata usaha negara sudah efektif dan pengadilan tata usaha negara telah memainkan peranannya, maka kasus-kasus yang menyangkut salah tindak administrasi yang terkadang amat besar pengaruhnya akan bisa diselesaikan. Untuk sementara lembaga bantuan hukum membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan memberikan advis dan nasihat, melakukan teguran-teguran kepada yang bersangkutan, mengajukan “appeal” kepada atasannya, atau membuka masalahnya kepada umum melalui bantuan media pers, dan jika upaya-upaya tersebut tidak berhasil, LBH mengajukan masalahnya ke depan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagimana perkara-perkara lainnya.

Tidak semua orang dalam kenyataannya memanfaatkan bantuan hukum di luar badan-badan peradilan. Ini banyak terjadi dalam kasus-kasus pembelian tanah, terutama di desa-desa, dengan dalih akan digunakan untuk proyek-proyek pembangunan atau mengatasnamakan pembangunan. Disamping tidak semua orang tahu bahwa bantuan hukum dapat diperoleh, adakalanya ia memang sadar tetapi tidak mempunyai cukup keberanian untuk mempergunakan haknya itu, antara lain karena tekanan-tekanan dari para pejabat setempat. Pejabat-pejabat tertentu seringkali pula tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa setiap orang boleh dan berhak mendapatkan bantuan dari penasihat-penasihat hukumnya. Dalam keadaan seperti ini, lembaga bantuan hukum sangat sukar untuk mengembangkan kesadaran masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat dalam pergaulan hukum, suatu hal yang menjurus pada masalah pendidikan hukum dalam arti luas.

Disinilah pentingnya lembaga bantuan hukum senantiasa bekerjasama secara erat dengan media massa, tidak saja untuk menanamkan dan menyebarluaskan kesadaran hukum dalam masyarakat, tetapi juga untuk menggugah, mengoreksi dan mengontrol praktek-praktek praktek-praktek atau perbuatan para pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum secara terbuka. Sebab bukanlah suatu hal yang kebetulan bahwa dewasa ini posisi pers-sekurang-kurangnya di Jakarta-secara politis cukup berpengaruh. Sebaliknya di daerah-daerah, selain sikap dan penguasanya relatif lebih otoriter sementara media massa daerah justru lebih lemah posisinya, maka lembaga bantuan hukum bukan saja tidak dapat berkembang bahkan tidak bisa didirikan.

Faktor sosial ekonomi dapat pula dikatakan sebagai hambatan berkembangnya gagasan ini. Pendapatan yang relatif kecil dari orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum seperti hakim, jaksa, polisi atau para pembela bisa menyebabkan peradilan berlangsung menjadi hanya sekedar formalitas belaka. Sinisme terhadap KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), dimanifestasikan dalam versi plesetan “Kasih Uang Habis Perkara”, ini masih melekat pada sebagian anggota masyarakat, disamping rahasia umum mengenai adanya “perkara-perkara kering” dan “perkara-perkara basah”.

Keadaan sosial-politik pada waktu dan tempat tertentu-terutama di masa rezim orde baru- dapat pula dikatakan menjadi penghambat utama. Dalam praktek, acapkali gagasan bantuan hukum dikorbankan demi “ketertiban”, “keamanan” dan “pembangunan”. Banyak orang takut untuk meminta bantuan hukum, ia akan mendapatkan cap maut “anti pembangunan”, apalagi jika cap itu berupa “sisa-sisa G30S/PKI”.

Jika kita boleh mengatakan bahwa ketetapan MPR di bidang hukum merupakan politik hukum negara kita, maka sebenarnya kita hanya tinggal menterjemahkan dan menerapkan saja kedalam kenyataan sehari-hari. Dengan demikian tugas penguasa dan masyarakat tidak hanya sekedar penerapan undang-undang atau pasal-pasal hukum, tetapi lebih dari itu, mencakup masalah hukum dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat luas.

Salemba, 1 Juni 2000

DIarsipkan di bawah: Hukum dan Implementasinya | yang berkaitan: bantuan hukum, legal consciousness, legal education, mulyana w. kusumah, ombudsman | Tidak ada komentar »
PENYALAHGUNAAN DISKRESI PADA KEBIJAKAN MOBIL NASIONAL
Ditulis pada 10 Agustus, 2008 oleh Zuryawan Isvandiar Zoebir

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304

Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Hukum dan Pembangunan yang diberikan oleh Dr. Harkristuti Harkrisnowo

A. Pendahuluan

Kajian mengenai topik ini dikategorikan kedalam lingkup hukum administrasi negara, yaitu salah satu bidang hukum yang mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi pemerintah sebagai administrator negara. Pemerintah adalah “pengurus harian” negara yang terdiri dari keseluruhan jabatan/pejabat publik yang mempunyai tugas dan wewenang politik negara serta pemerintahan.

Dalam artian yang luas, hukum administrasi negara adalah hukum mengenai penyelenggaraan segala sesuatu yang mengandung aspek policy pemerintah dan hukum publik.[1]

Apa yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparaturnya adalah tugas-tugas pemerintah, yaitu tugas-tugas negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada pemerintah. Sedangkan tugas-tugas lainnya dibebankan kepada MPR (badan konstitutif), presiden dan DPR (badan legislatif), DPR (badan pengawas politik), DPA (badan konsultasi) dan BPK (badan pengawas finansial).

Pembahasan akan kami fokuskan kepada aspek tugas-tugas pemerintah, oleh karena pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab terbanyak dan kompleks pada hampir semua bidang tugas-tugas serta diprediksikan memiliki tingkat penyalahgunaan diskresi (detournement de pouvoir) tertinggi bila dibandingkan tugas-tugas yang dibebankan kepada lembaga negara lainnya.

Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.[2]

Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadi pejabat publik tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap dijiwai diskresi tersebut.

B. Permasalahan dan Pembahasan

Dalam bagian ini kami akan mencoba untuk mengambil beberapa contoh penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara terutama dimasa-masa lalu serta akan diperbandingkan dengan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang pejabat publik dalam memanfaatkan asas diskresi ini.

Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya tetap dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut (jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu :

a) Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada para pengusaha;

b) Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut, reaksi pasar baik didalam negeri maupun diluar negeri sangat negatif tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakan yang menimbulkan heboh tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat kurang dan oleh karenanya sangat tidak layak untuk tetap dipertahankan;

c) Telah dilanggar prinsip-prinsip moralitas atau rasa keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan, dengan dalih apapun atau sebodoh apapun masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroninya.

Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu : [3]

1. Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;

2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;

3. Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas.

Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good governance)[4], maka dalam kasus Proyek Mobil Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau paling kurang tidak berupaya bagi pencapaian dan pemeliharaan suatu pemerintahan yang baik dan bersih, yaitu dengan ditegakkannya asas-asas :

1. Orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;

Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;

2. Asas Larangan Kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad);

3. Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya, oleh karena secara substansi kebijakan diskresi tersebut dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang dari yang apa-apa yang dimaksudkan oleh undang-undang yaitu memperkaya diri sendiri, keluarga dan kroninya;

4. Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan sebanding. Dalam penunjukan kepada PT. Timor Putra Nasional yang nota-bene merupakan milik anak dan kroni-kroninya sendiri, maka secara jelas ia telah melakukan tindakan pandang bulu, pilih kasih. Padahal Soeharto sangat mengetahui bahwa tindakan-tindakan seperti ini sangat terlarang, karena merusak tujuan dari hukum obyektif, sehingga pada akhirnya akan merongrong hukum dan wibawa negara dengan timbulnya suatu kesan bahwa negara adalah milik dari rakyat golongan tertentu saja.

C. Penutup

Demikian secara singkat kami uraikan makalah tentang penyalahgunaan diskresi pada kasus Proyek Mobil Nasional yang dihubungkan dengan asas-asas hukum yang harus dipenuhi bagi pembuatan suatu kebijakan dan asas-asas mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bilamana asas-asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan suatu pemerintahan tidak akan tercapai, dan keputusan-keputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai wibawa serta efek yang diharapkan.

Bogor, 3 Juni 2003

[1] Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 13

[2] Ibid, hal. 87

[3] Ibid, hal. 87

[4] Siagian, Sondang P., Patologi Birokrasi-Analisis, Identifikasi dan Terapinya, Ghalia Indonesia, hal. 1

1 comment:

I.A.Sulviane said...

Makalah yang menarik...Dosennya juga menarik untuk dikomentari :)
sudah baca artikel saya di http://gado-gadobogor.blogspot.com/2008/11/cuti-bersama-vs-cuti-tahunan-pns.html ???