Friday, October 31, 2008

FUNGSI MANIFES DAN LATEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN)*

Pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam arti pengaturan secara rasional, merupakan pemenuhan mutlak terhadap tuntutan zaman saat ini. Namun, diskursus yang tumbuh dan berkembang adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang selama ini dianggap merupakan mekanisme paling ampuh sebagai pengatur kehidupan masyarakat, merupakan anggapan yang kurang tepat, menyesatkan dan terlalu menyederhanakan.
Dalam tataran empirik dan oleh karena peraturan perundang-undangan saat ini sudah merupakan bagian yang penting dari kultur sosial kita, maka besar kemungkinan atau seringkali kita terlalu menuntut secara berlebihan terhadap kemampuan peraturan perundang-undangan, oleh karena sebenarnya masih terlalu banyak hal berada diluar apa yang dapat dilakukan oleh peraturan perundang-undangan. Masih sering kita beranggapan salah, bahwa dengan dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan maka akan selesailah semua persoalan yang menjadi topik pengaturannya.
Pada beberapa kesempatan kita sering mendengar lontaran kata sebagai berikut: “Mengapa tidak dibuat peraturan perundang-undangannya…?”. “Kapan dibentuk undang-undang tentang ini…? Sehingga seringkali kita kemudian beranggapan, bahwa dengan dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan maka akan selesailah semua persoalannya. Kita ingin memiliki kondisi lalu-lintas yang tertib dan teratur? Buatlah peraturan lalu-lintasnya. Kita ingin suatu perkawinan yang bahagia? Susunlah undang-undang perkawinan! Kita ingin memberantas korupsi? Undang-undang pemberantasan korupsilah jawabannya!
Namun bukan berarti bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Harus diakui bahwa peraturan perundang-undangan tetap mempunyai potensi sebagai sarana untuk melakukan pengaturan kehidupan sosial (law is a tool of social engineering), seperti pernah dikemukakan oleh Roscoe Pound. Yang ingin dikemukakan disini adalah, bahwa tidak begitu tepat apabila kita terlalu menggantungkan harapan kita setinggi langit kepada suatu peraturan perundang-undangan. Masih terlalu banyak faktor dan kekuatan yang akan turut mempengaruhi hasil yang menjadi tujuan dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Daya laku hukum dan pemanfaatannya dalam memecahkan suatu persoalan tertentu, antara lain dipengaruhi oleh bekerjanya kekuatan-kekuatan manifes dan laten dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Sosiolog Robert K. Merton lah, yang pertama kali secara sistematis memanfaatkan gejala-gejala bekerjanya manifes dan laten dalam suatu sistem. Fungsi manifes suatu sistem adalah akibat-akibat yang dikehendaki dan yang diakui kehadirannya dalam rangka bekerjanya suatu sistem. Sedangkan fungsi laten adalah hal sebaliknya, yaitu akibat-akibat yang timbul, tetapi tidak dikehendaki dan yang tidak diakui kehadirannya dalam rangka bekerjanya suatu sistem. Dengan demikian dikatakan juga, bahwa fungsi laten ini sesuatu akibat yang timbulnya tidak dapat diantisipasikan. Merton memanfaatkan bekerjanya kedua fungsi ini guna memperhalus caranya dalam menganalisis bekerjanya suatu sistem.
Ilmu hukum kemudian melakukan elaborasi terhadap hal yang semula berkembang dalam sosiologi tersebut dengan maksud untuk memperhalus cara-cara kita dalam menganalisis bekerjanya hukum. Untuk memahami penggunaanya di dalam bidang hukum, pertama-tama hendaknya diterima kenyataan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan ini hanya merupakan sebagian kecil upaya manusia yang dibuat dan disengaja untuk mencapai suatu tujuan. Inilah yang disebut sebagai fungsi manifes suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya saja, fungsi manifes dari undang-undang tentang cek kosong adalah untuk memberantas praktek-praktek penarikan cek kosong yang dianggap mengganggu itu. Tetapi kemudian kemudian ternyata, dikeluarkannya peraturan itu juga menimbulkan komplikasi-komplikasi dalam masyarakat yaitu tersendatnya lalu-lintas perekonomian, perdagangan dan perbankan. Disinilah kita melihat fungsi laten dari peraturan tersebut. Dengan diterbitkannya undang-undang tentang cek kosong tersebut, jelas bahwa tidak ada maksud pada pembuat undang-undang untuk memacetkan dunia bisnis. Pembentuk undang-undang tentu tidak atau belum mengantisipasi timbulnya negative multiplier effect tersebut, sehingga pembentuk peraturan perundang-undangan merasa perlu untuk segera mencabut undang-undang tersebut.
Lawrence M. Friedman, seorang peneliti hukum dari Universitas Stanford, Palo Alto, memberikan contoh tentang bekerjanya fungsi laten ini sebagai berikut: dikalangan suku-suku di Afrika ada kebiasaan untuk pada musim-musim kemarau melakukan tari-tarian guna mendatangkan hujan. Dengan demikian, maka fungsi manifes dari tarian tersebut adalah untuk menurunkan air dari langit. Tetapi, sekalipun hujan tidak turun, tari-tarian tersebut telah menunjukkan fungsi latennya yaitu berupa diperkuatnya kesadaran suku, atau dengan perkataan lain, terbinalah “suku buillding”.
Kemungkinan-kemungkinan bagi bekerjanya fungsi laten dari perundang-undangan itu seyogyanya sudah dipahami sejak semula, sebagai pelengkap terhadap pemahaman kita mengenai bekerjanya hukum. Adalah ideal sekali manakala pembuat undang-undang mampu melakukan antisipasinya secara lengkap terhadap akibat-akibat yang mungkin timbul dengan dikeluarkannya suatu peraturan. Tetapi hal semacam itu tentu sulit untuk dicapai dan kalau yang demikian itu terjadi, tentunya merupakan suatu “conditio in terminis”, karena fungsi laten itu memang bagaimanapun merupakan sesuatu akibat yang tidak dapat diduga. Satu-satunya hikmah dari pengetahuan kita mengenai bekerjanya fungsi laten itu adalah, bahwa orang lalu bisa menghadapi masalahnya dengan kepala dingin, karena tahu bahwa itu semua memang kerja dari fungsi laten yang bekerja diluar jangkauan nalar kita.

*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada Magister Manajemen Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

No comments: